"Asal kau berada disampingku, di mana saja terasa hangat. terlihat terang. semuanya begitu jelas."

Sabtu, 28 Juli 2012

Bagian Tiga Belas


“K
ita berhenti sampai sini dulu.” Tukas Adrian setelah menutup ponselnya. “Mike, cepat bereskan kertas-kertas lirik laguku.”
Mike menatapnya dengan sebelah alis terangkat. “kenapa tiba-tiba?”
“aku tiba-tiba merasa lelah.” sahut Adrian sambil memijat pelan pelipisnya.
Mi Na lalu memperhatikan wajah Adrian yang dari tadi sudah terlihat agak pucat. “apa kau baik-baik saja?”
“aku hanya merasa lelah.”
“oke.” Kata Mike sambil membereskan tumpukan kertas-kertas lirik lagu di meja. “oh ya. Ad, aku baru saja menerima undangan untukmu.”
“undangan apa?”
“dari universitas Kyung Hee.” Jawab Mike sambil mengeluarkan secarik kertas elegan berwarna kuning emas dari kantungnya. “dua minggu lagi adalah malam kesenian dan kau diundang ke pesta resmi di sana.”
“wah, kau diundang juga?” ucap Mi Na dengan nada bersemangat. “aku juga diundang. Di sana akan ada banyak entertainer Korea yang bisa kau temui.”
“oh ya?” balas Adrian sambil memperhatikan kertas undangan itu. “apa yang datang hanya para artis dan aktor Korea?”
Mi Na menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “bukan hanya mereka. Mahasiswa dan mahasiswi Kyung Hee juga pastinya akan datang. Ini selalu diadakan setiap tahun.”
Adrian kemudian terdiam sejenak dan seulas senyuman kecil tersungging dibibirnya.
Mi Na terlihat menoleh ke kiri kanan. “mmm, toiletnya di mana?” suara Mi Na membuyarkan lamunannya.
“di sana.” Jawab Mike sambil menunjuk ke arah toilet. Mi Na tersenyum kecil lalu bergegas meninggalkan ruangan studio untuk sementara.
“Adrian, selain undangan itu aku juga mendapat telepon dari Luis.” Kata Mark tiba-tiba.
Laki-laki berambut cokelat pirang itu menaikkan sebelah alis. “untuk apa dia menelepon?”
“kau masih tidak menyukainya?” tanya Mike.
Adrian beranjak dari kursinya dan mendesah pelan. “bukannya aku tidak menyukainya. Dia terus menawari diri untuk menjadi produserku, bahkan sejak dia berhenti menjadi artis. kalau aku tidak mau kenapa memaksa?”
Mike mengangguk pelan. Ia terlihat berpikir. “mungkin dia menawari diri lagi karena kau sekarang ada di Korea. Menjadi produsermu akan mendongkrak bisnisnya.”
Adrian lalu tersenyum remeh. “apalagi rencananya?”


Fiona memperhatikan layar ponselnya sekali lagi. Sudah kesekian kalinya Ia memeriksa alamat yang tertera di layar ponselnya hanya untuk memastikan kalau Ia tidak salah jalan.
“apa ini gedung studionya?” gumamnya. Fiona lalu melihat seorang satpam yang lewat.
“permisi, apakah Adrian Harrison ada di dalam gedung?” Tanya gadis itu sambil tersenyum ramah.
Satpam itu memperhatikan Fiona sejenak dan menatapnya dengan pandangan curiga.
Fiona lalu mengibaskan kedua tangannya. Seakan-akan Ia bisa membaca pikiran satpam itu, Ia lalu menambakan, “saya bukan paparazzi ataupun fans. Saya temannya.”
Tatapan curiga satpam itu kemudian memudar. “oh, iya. Adrian Harrison sedang rekaman. Anda mau saya antarkan ke dalam?”

“Terima kasih.” Ucap Fiona begitu Ia sampai di depan pintu studio Adrian rekaman. Satpam itu tersenyum kecil lalu membungkukkan badan dan segera berjalan meninggalkan Fiona.
Gadis itu lalu mengangkat sebelah tangan, bermaksud untuk mengetuk pintu tapi Ia terlihat ragu. Setelah memantapkan diri, Ia kemudian membuka pintu studio itu dengan pelan.
“Permisi..” ucap Fiona pelan dengan nada ragu.
Laki-laki berambut cokelat pirang yang berdiri membelakanginya kemudian memutar badan. Kedua mata cokelat gelapnya melebar senang begitu melihat Fiona yang sudah berdiri di depannya.
“kau benar-benar datang.”
Fiona melirik ke sekeliling ruangan. Mi Na tidak ada. Apa dia sudah pulang?
“aku….”
“Hwa Young-ssi?” suara seorang gadis kemudian muncul dari belakang Adrian. Fiona menoleh ke arah suara itu, Mi Na terlihat tersenyum lebar kepadanya.
“Oh, Mi Na.” Fiona tersenyum tipis.
Adrian memperhatikan kedua gadis di depannya. “maaf aku telah merepotkan.”
Fiona lalu menoleh ke arah Adrian, “hah? Tidak sama sekali.”
Adrian memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut.
“kau baik-baik saja, Adrian?” Tanya Mi Na dengan nada khawatir.
Laki-laki yang ditanyanya menggelengkan kepala pelan. “sepertinya aku benar-benar butuh istirahat.”
“kau mau aku antar pulang? Satu jama lagi aku harus kembali ke butik, tapi tidak masalah.” tawar Mi Na.
Fiona masih terdiam. Ia merasa dirinya begitu bodoh karena tidak bisa menawarkan diri secepat Mi Na.
Adrian terdiam sejenak, Ia terlihat berpikir. “tidak usah repot-repot, Mi Na-ssi. Aku bisa diantar Mike.”
“Ad, sayangnya aku ada rapat dengan para staff. Terutama soal album barumu ini. Kau tentunya tidak usah ikut rapat.”
“kau yakin?” Tanya Adrian. “Fiona-ssi. Apa kau sibuk?”
“hah?”
“aku sepertinya tidak bisa mengendarai mobil sendiri dalam keadaan seperti ini. Jadi…”
“aku bisa.” Sela Fiona. “aku tidak ada jadwal apapun setelah ini.”
Seulas senyuman kecil tersungging di bibir Adrian. “bagus. Aku juga ingin memakan kimchi.
Mi Na memperhatikan Adrian yang tersenyum manis kepada Fiona dengan wajahnya yang pucat itu. “baiklah kalau begitu. Aku akan meneleponmu besok Adrian.” Gadis itu kemudian mengeluarkan sebuah botol kecil dari tasnya. “oh, ya. Jangan lupa minum ini juga. Ini bisa memulihkan rasa pusingmu dengan cepat. Ibuku sering memberikanku ini.”
Adrian menerima botol itu dengan senyuman manis yang masih terlihat di wajahnya. “terima kasih, Mi Na-ssi. Kau perhatian sekali.”
Sekali lagi, Fiona merasa bodoh. Padahal baru saja Ia meyakinkan diri kalau dia tidak bodoh. Namun sifatnya yang tidak cekatan seperti Mi Na membuatnya merasa gadis itu jauh lebih baik darinya.


“kau yakin tidak keberatan masuk ke rumah laki-laki yang tinggal sendiri?” Tanya Adrian dengan nada bercanda.
Fiona menyipitkan kedua matanya. “kau bisa mengurus dirimu sendiri disaat seperti ini?”
“aku hanya bertanya.”
“aku juga hanya bertanya.” Jawab Fiona. “kalau bukan karena kau, aku pasti sudah ada di apartemenku sekarang membaca buku favoritku.”
“jadi aku mengganggumu?” Tanya Adrian lagi.
Fiona terdiam sesaat. Kenapa tadi dirinya mengatakan hal itu? Tentu saja Adrian tidak pernah mengganggunya, bahkan merepotkannya. “tidak.”
Fiona terlihat ragu sesaat, Ia kemudian meletakkan sebelah tangannya di atas kening Adrian dengan pelan. Matanya melebar begitu menyadari suhu badan Adrian yang begitu tinggi. “ya ampun, kau panas sekali.”
“benarkah?” Adrian memegang tangan Fiona yang menyentuh keningnya. “ternyata memang panas.”
Fiona menahan napasnya begitu menyadari tangan Adrian yang menyentuh tangannya. Tangan Adrian yang hangat. Hangat bukan karena suhu badannya yang tinggi. Gadis itu mengerjapkan matanya dan segera menarik tangannya cepat. “aku akan ambilkan obat, kau istirahat saja dulu.”
Adrian yang masih menyentuh keningnya sendiri kemudian mengangguk pelan. Ia memperhatikan gadis yang berjalan keluar kamarnya sambil tersenyum samar. Rambut panjang cokelatnya itu, cara gadis itu berjalan, semua perpaduan yang membuat Adrian terkesan hanya dengan melihatnya dari belakang.
Adrian kemudian berjalan keluar dari kamarnya dan duduk di atas sofa ruang tengah. Ia mengeluarkan botol kecil yang tadinya Mi Na berikan kepadanya. Tak lama kemudian, Fiona datang menghampirinya sambil membawa sebuah mapan kecil dengan segelas air dan obat di atasnya.
“kenapa tidak diminum saja?” Tanya Fiona sambil melirik ke arah botol yang Adrian pegang.
Adrian mendongak melihat Fiona, Ia lalu tersenyum tipis sambil memperhatikan botol yang dipegangnya. “tidak sekarang.” Jawabnya.
Gadis itu dengan pelan meletakkan mapan itu di atas meja. “setelah minum obat ini, kau harus tidur.”
“aku tidak mengantuk.”
“tapi kau butuh istirahat.”
“aku hanya lelah.” jawab Adrian lagi. “hanya duduk sebentar dan tidak melakukan apa-apa sudah cukup.”
Fiona tidak menjawab untuk beberapa saat. Ia merasa laki-laki yang diajak bicaranya ini cukup keras kepala. Ia lalu mendesah pelan. “ya sudah. Kalau kau masih pusing, sebaiknya tidur.” Balas gadis itu.
Fiona lalu menghampiri sofa lainnya dan mengeluarkan buku novel yang tadi sempat dibacanya di kafe. Adrian memperhatikan gadis itu. Ia kemudian berpikir sejenak, bertanya-tanya kepada dirinya sendiri apakah Ia harus menanyakan hal itu pada Fiona. Adrian lalu memutuskan untuk bicara. “apa kau tidak mau bertanya tentang sesuatu?”
Fiona yang tadinya berkonsentrasi dengan bukunya kemudian menoleh ke arah Adrian dengan sebelah alis terangkat. “bertanya tentang apa?”
“kenapa Mi Na datang ke studioku.”
Fiona terdiam sesaat. Rasa penasaran kemudian timbul begitu saja di dalam hatinya. “kenapa dia datang?”
Adrian menunduk dan tersenyum kecil, perasaan senang terbit begitu melihat Fiona yang penasaran menunggu jawabannya. “aku tidak menyuruhnya datang.”
“lalu?”
“dia datang sendiri.” Jawab Adrian. “katanya dia ingin membuat kejutan untukku.”
Kejutan? Pintar sekali. Pikir Fiona. Gadis itu kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke buku yang dipegangnya.
“aku tidak tahu dari mana Mi Na mendapatkan alamat studioku.” Tambah Adrian. “yang jelas, tidak ada orang lain yang aku tunggu selain kau, Fiona-ssi.
Ucapan Adrian barusan membuat Fiona mendongak dan menatap laki-laki yang sejak tadi sudah memperhatikannya. Kedua pasang mata itu bertemu untuk beberapa saat dan Adrian menyunggingkan senyuman manis yang selalu membuat Fiona merasa hangat.
“lalu… kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya? Maksudku, kalau kau sakit. Mungkin aku bisa datang lebih awal.” Kata Fiona dengan nada setengah ragu.
“tunggu dan lihat saja nanti.” Balas Adrian.
Fiona menatap Adrian dengan heran. Ia tidak mengerti sama sekali dengan apa yang laki-laki itu maksud. “kau bilang apa?”
Adrian hanya tersenyum kepada Fiona dan melihat ke sekeliling ruangan, pandangannya terhenti pada piano putih yang terletak di sisi ruangan dekat tangga.
“kau sudah pernah melihatku bernyayi?”
“tentu saja. Di televisi.” Jawab gadis itu sambil menutup novelnya. Ia kemudian mengikuti arah pandangan Adrian ke sisi ruangan.
“kau bisa bermain piano?” Tanya Fiona dengan nada bersemangat.
“jadi sebelumnya kau meremehkan kemampuanku?”
Fiona mengiyakkan perkataan Adrian barusan dan beranjak dari sofa. “apa kau bisa memainkannya sekarang?”
Adrian menatap wajah gadis itu yang terlihat cerah dan bersemangat. “kau akan berikan aku apa?”
Alis Fiona terangkat. “ayolah, jangan bercanda lagi. Cepat, aku ingin melihatmu bermain.” Ujar Fiona sambil menarik-narik tangan Adrian.
Laki-laki itu mengalah, Ia kemudian beranjak dari sofanya dan berjalan menghampiri piano putih itu. Fiona yang berjalan mengikutinya terlihat lebih antusias.
Adrian duduk di depan pianonya dan sebelum jemarinya mulai bermain, Ia melirik menatap Fiona. “lihat. Apa kau tahu kalau kau sudah berhasil memaksa orang sakit?”
Fiona mengerjapkan matanya, seakan-akan Ia lupa kalau sebenarnya Adrian sedang sakit. “ah, iya. Tapi kau sendiri bilang tidak mau tidur, bukan? Dari pada diam-diam, lebih baik bermain piano.”
“kau memangnya salah satu fansku?” Tanya Adrian.
“memangnya hanya fans yang bisa melihatmu bermain piano secara langsung?”
“ya.” Jawab Adrian singkat tanpa menatap Fiona. Ia hanya menunduk memperhatikan tuts-tuts pianonya dan menahan diri untuk tidak melihat ekspresi gadis di depannya itu.
“aku memang bukan salah satu dari fans fanatikmu.” balas Fiona. “tapi aku juga termasuk orang yang menyukai musikmu. Hanya saja tidak fanatik.”
Adrian tersenyum kecil dan mengangkat kepala melihat gadis itu. “oke. Satu lagi.”
Fiona mendecak lidah. “Apa kau selalu begini setiap orang hanya memintamu untuk bermain piano?”
“datang denganku ke pesta malam kesenian di Kyung Hee.” Ucap Adrian mengabaikan pertanyaan Fiona. “kalau kau memang ingin melihatku bermain piano, itu syaratnya.”
Fiona sedikit terkejut mendengar perkataan laki-laki itu. “kau diundang?”
Adrian mengangguk. Gadis di depannya itu terlihat ragu. “Aku tidak akan mengumumkan kalau kau itu adalah kekasihku.” Tukas Adrian seakan-akan Ia tahu apa yang gadis itu sedang pikirkan.
Fiona lalu menghela napas pelan. “baiklah.”
Adrian yang mendengar jawaban Fiona lalu menepuk kedua tangannya dan tersenyum puas. “oke. Aku akan memainkan satu lagu instrumental.”
“akhirnya.” Ucap Fiona. “apa kau selalu membuat sebuah syarat setiap orang memintamu untuk bermain piano?”
“tidak juga. Hanya denganmu.” Jawab Adrian dengan santai.
Fiona menatap laki-laki itu dengan kedua mata disipitkan, lalu Ia mengalihkan wajah. “ternyata kau cukup licik juga.”
“licik?” Adrian kemudian tertawa kecil. “yang penting kau mau pergi bersamaku.”
Nada suara Adrian membuat Fiona menoleh menatapnya. Apakah hanya perasaannya atau nada suara Adrian memang tiba-tiba berbeda?
Adrian kemudian menatap gadis yang sedang memperhatikannya. “aku akan memainkan satu lagu instrumental dan kau harus menebak judulnya.”
Lamunan Fiona dibuyarkan oleh suara Adrian. Seulas senyuman tipis tersungging di bibirnya. “oke.”
Kedua mata Adrian awalnya menatap Fiona untuk beberapa saat. Gadis yang ditatapnya merasa heran dan mendapati dirinya tidak bisa mengalihkan pandangannnya sendiri. Seakan-akan merasa tenggelam dalam tatapan kedua mata cokelat gelap itu, Ia tidak menyadari jemari-jemari Adrian yang sudah mulai memainkan tuts-tuts piano. Fiona merasa ada yang berbeda dari Adrian saat Ia memainkan piano. Sesuatu yang tidak bisa gadis itu jelaskan, sesuatu yang menghanyutkan perasaannya sendiri hanya dengan melihat laki-laki itu bermain piano. Setiap nada yang dimainkannya mencerminkan perasaan senang dan bahagia, sesuatu yang cerah. Seakan-akan orang yang memainkan musik itu telah menemukan sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Perasaan yang membuatnya merasa dunia telah berubah lebih cerah dan menyenangkan, sesuatu yang tidak akan Ia lepaskan.
Fiona memejamkan kedua matanya, hanyut dalam setiap nada yang dimainkan Adrian. Gadis itu menemukan ketenangan dan kenyamanan selama musik itu terus dimainkan.
Begitu Adrian selesai memainkan pianonya, Ia menoleh ke arah Fiona yang masih memejamkan matanya. “bagaimana?”
Gadis itu kemudian membuka kedua matanya dan tersenyum. “itu bagus sekali.” Pujinya. “aku tidak terlalu yakin soal judulnya, tapi aku yakin musik tadi menggambarkan sebuah perasaan yang spesial. Perasaan yang membuatmu berbunga-bunga setiap kali kau bangun di pagi hari. Perasaan yang tidak akan pernah kau lepaskan. Sesuatu yang baru dan indah.”
“Ternyata kau memang pandai.” Adrian tersenyum lebar. “judulnya First Love oleh Utada Hikaru. Dan semua yang kau deskripsikan sama persis dengan apa yang kupikirkan tentang lagu ini.”
“benarkah? Setiap nadanya sangat indah.” Puji Fiona lagi. Ia kemudian mulai merasa penasaran. “kenapa kau memainkan musik itu? apa kau juga suka? Lalu kenapa kau memintaku untuk menebak judulnya?”
Adrian terdiam sesaat sambil mengelus pelan piano putihnya. “karena aku selalu memainkan lagu yang sesuai.”
Alis Fiona terangkat sedikit. Lagi-lagi laki-laki itu membuatnya bingung. “sesuai dengan…”
“dengan selera banyak orang.” Lanjut Adrian.
“oh…” Fiona menunduk, ternyata yang diduga dalam pikirannya salah.
“selain itu aku juga merasa lagu ini bisa menggambarkan perasaan seseorang.”
Fiona mendongak menatap Adrian. “siapa?”
“seseorang yang dekat denganku.” jawab Adrian. Ia lalu mengangkat kepala menatap Fiona, “sangat dekat.”
“siapa?” Tanya Fiona sekali lagi.
Adrian tersenyum lebar, Ia tidak bisa menahan diri melihat raut wajah Fiona yang begitu penasaran. Ia lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamarnya. “aku sangat capek. Aku mau tidur.”
Mata Fiona melebar, kesal karena pertanyaannya tidak dijawab. Ia lalu berseru sambil mengikuti Adrian dari belakang. “hei, kau belum menjawabku! Perasaan siapa yang kau maksud?” 



2 Comments:

  1. Kapan nih kak episode di lanjut lg? ceritanya bikin penasaran bgt :D

    BalasHapus
  2. belakangan ini lagi agak sibuk, jadi semoga minggu ini bisa bener-bener ngepost. maaf ya udah 2 minggu vakum >.<

    BalasHapus

2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.

© Sunny In Winter, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena