"Asal kau berada disampingku, di mana saja terasa hangat. terlihat terang. semuanya begitu jelas."

Senin, 23 Juli 2012

Bagian Dua Belas


Adrian sedang terduduk di depan meja kerjanya sambil sesekali menyentuh dahinya yang hangat. Potongan-potongan kecil kertas berserakan di lantai. Kepalanya terasa berdenyut-denyut untuk kesekian kalinya, Ia bisa merasakan suhu badannya yang tidak biasa dan napasnya yang panas. Meskipun begitu, Adrian tidak peduli, Ia harus tahan rasa pusingnya. Ia harus menyelesaikan itu secepatnya. Sudah sekitar dua jam lebih Ia mengerjakan tumpukan kertas daun daur ulang itu. Kumpulan kertas itu diikat dengan pita cokelat kecil seperti buku, dan pada bagian teratas terdapat motif hiasan akar tumbuhan yang didekorasinya sendiri.
“Selesai.”  Kata Adrian sambil tersenyum puas walaupun Ia menyadari wajahnya yang memucat.
Ia lalu mengambil beberapa foto yang sudah dipilih sebelumnya dan mulai menempelkan setiap foto pada sisi kiri halaman. Pada sisi kanan halaman, Adrian menulis beberapa kata yang berhubungan dengan setiap foto yang tertempel.
Setelah menyelesaikan bagian dalam buku, Ia lalu mengambil pulpen berwarna perak dan menulis pada halaman terdepan:

It belongs to: Red Bloom

Adrian kembali tersenyum puas begitu menyelesaikan sentuhan terakhir. Ia lalu menarik laci kecil di mejanya dan menaruh bukunya yang berwarna cokelat itu di bagian terdalam laci.
“kau akan aman di sini.” ucapnya sambil menepuk pelan buku itu.
Tiba-tiba ponsel di dalam sakunya bergetar. Alisnya sedikit terangkat begitu melihat nama ibunya di layar ponsel.
Jangan lupa besok adalah hari peringatan ayahmu.
Sambil berpikir sejenak, Adrian memijat pelipisnya, “oh ya, benar juga.”
Ia meringis pelan begitu kepalanya kembali berdenyut. Sekarang kepalanya terasa berputar-putar dan sepertinya tidak bisa ditahan lagi. “Bodoh. Kenapa tiba-tiba jadi tidak kebal begini?”


“Hwa Young-ssi!”
Fiona terloncat di sofanya begitu mendengar suara Min Rae yang lantang memanggilnya. “apa?”
“apa kau tidak mendengarku sudah memanggilmu tiga kali?”
Fiona menatap temannya dengan linglung. “hah?”
“memang benar.” ujar Min Rae sambil mendengus. “pikiranmu sudah melayang.”
Min Rae lalu melirik ke arah tangan Fiona, Ia menyipitkan kedua matanya. “apa kau tidak bisa membantuku sebentar dan kembali memelototi ponselmu nanti?”
“siapa yang memelototi ponsel?” protes Fiona.
“Hwa Young-ssi. jika ada orang lain di sini mereka pasti akan setuju denganku.”
Fiona mendecak lidah, lalu Ia beranjak dari tempat duduknya. “kau ingin minta bantuan apa?”
Min Rae lalu mengulurkan sebelah tangan sambil memegang sebuah buku tebal. “ini novel favoritmu, bukan?”
Fiona terdiam sesaat memperhatikan novel ditangan temannya itu, lalu senyumnya mengembang. “kau temukan di mana? Aku sebelumnya sudah mencari keliling apartemen tapi tidak ketemu.”
“aku sendiri juga heran begitu menemukannya di bawah tempat tidur.” Sahut Min Rae sambil menepuk-nepuk buku yang sedikit berdebu itu.
Fiona hanya menggaruk pelan kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum malu. “sepertinya aku baca buku di mana-mana.”
Min Rae tersenyum kecil. “aku bisa lihat itu. Apa menurutmu buku ini masih ada di toko?”
“aku tidak yakin. Buku itu aku beli empat tahun yang lalu. Memangnya kenapa?”
“kau bisa bantu aku mencari toko online yang masih menjual buku ini, bukan?” tanya Min Rae dengan senyum penuh harap. “aku sempat membaca beberapa halaman, sepertinya cerita yang sangat menarik.”
Fiona lalu tersenyum kecil. “bukankah bagimu semua buku yang aku baca memang selalu menarik?”
“harus kuakui, Hwa Young-ssi. pilihanmu memang selalu tepat.”
Gadis yang dipujinya hanya mengangguk dan mengambil buku itu dari Min Rae. “aku sudah merindukan buku ini.”
“kalau begitu berterima kasihlah padaku.” Balas Min Rae. “omong-omong, telepon dari siapa yang kau tunggu sejak tadi?”
“hah?”
“dari Adrian?” ucap Min Rae tanpa menunggu jawaban. “oh, memang Adrian.”
“kenapa kau asal tebak begitu?”
“memangnya aku salah?”
Fiona hanya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala. “kau sebenarnya ingin dibantu atau tidak?”

Sudah pukul sebelas malam. Tapi masih belum ada satupun pesan atau telepon darinya. Apa dia lupa janjinya tadi siang untuk menelepon? Atau dia hanya sekedar mengatakan itu?
“ahhh, Fiona. kenapa menunggu sesuatu yang tidak pasti?” gumamnya pada diri sendiri. “kalau tahu begini, seharusnya sejak tadi aku membaca buku! Ahh kacau.”
Fiona lalu beranjak dari tempat tidurnya dengan malas dan menghampiri meja kerjanya. Saat sudah membuka bukunya, gadis itu mengernyitkan alis.
“kenapa aku merasa aneh seperti ini?”
Ia lalu melempar kembali bukunya ke meja dan bersandar di sisi tembok. “besok sudah tepat empat belas tahun sejak hari kecelakaan itu.” Gumamnya dengan tatapan melamun.
Fiona lalu menghela napas dan menghempaskan badannya ke tempat tidur. Rasa kantuknya mulai muncul, Ia kemudian memejamkan kedua matanya perlahan. “Ibu, sampai ketemu besok.”


“apa kau yakin bisa melakukan rekaman hari ini?”
Adrian mengangguk pelan. Walau kepalanya masih terasa berat, Ia tidak ingin memperlihatkan itu kepada managernya yang menatapnya khawatir.
“Yang bermasalah itu bukan suaraku. Aku masih bisa bekerja.”
“kau harus bilang jika kau kelelahan nanti.” Balas Mike.
“aku tahu itu.” Adrian kemudian tersenyum menatap raut wajah Mike yang terlihat was-was. “jangan menatapku seperti itu. Aku tidak seperti orang yang harus dirawat di rumah sakit.”
Mike mengangguk dan terdiam sejenak. Ia lalu teringat sesuatu. “oh ya. Hari ini hari peringatan ayahmu, bukan?”
“ya.”
“tidak terasa, sudah empat belas tahun beliau tidak ada di sini.”
“mm.”
Mike lalu menyadari perubahan sikap Adrian dari suaranya yang terdengar datar. “Ad, kau baik-baik saja?”
Adrian tidak menjawab untuk beberapa saat. Ia terlihat berpikir. “seandainya aku masih ingat apa yang terjadi waktu itu.”
Mike menemukan dirinya tidak bisa berkata apa. Ia lalu menghampiri Adrian dan menepuk bahu laki-laki itu. “tidak usah merasa bersalah seperti itu. Siapa yang menyangka kalau penyakitnya akan kumat saat itu juga?”
Adrian masih terdiam dengan tatapan menerawang. Ia sudah terlanjur tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mike lalu berusaha menemukan sebuah pertanyaan. “apa kau sudah memberitahu adikmu?”
“percuma.” Jawab Adrian cepat. “dia tidak akan mendengarkan. Entahlah, apa yang terjadi dengan gadis itu. Sepertinya Katherine tidak mau mengingat ayahnya lagi.”
“apa kau tahu alasannya?” tanya Mike.
Adrian lalu menoleh ke arah Mike yang menunggu jawabannya. “tidak.”
Ia lalu menegun, kembali menyalahkan dirinya sendiri dalam hati. Namun kemudian Adrian menggelengkan kepalanya dengan tegas dan mengambil ponselnya di sofa. “sebaiknya kita bergegas ke studio sekarang. Aku tidak mau buang waktu.”


“aku rasa kurang pas di bagian itu.” Ucap Adrian setelah dengan seksama mendengarkan rekamannya.
“kita ulang lagi. Oke?”
Mike menatap wajah Adrian dengan mata disipitkan. “apakah kau sadar kalau kau berkeringat dingin?”
“tidak.” Sahut Adrian sambil mengelap tetesan keringat di keningnya.
“Ad, wajahmu pucat.”
“aku baik-baik saja.” Bantah Adrian. “yang penting suaraku baik-baik saja.”
Ia lalu berjalan memasuki ruang rekaman sambil memijat pelan pelipisnya dan bergumam tidak jelas. Managernya itu masih memperhatikannya dengan tatapan khawatir.
“apa kau butuh obat?” tawar Mike.
Adrian mengibaskan tangannya dan menggeleng pelan. Baru saat Ia segera memakai headphones, gadis yang dikenalnya muncul dari pintu luar studio.
“Halo.”
Mike segera memutar kursinya dan menghadap gadis yang tersenyum ramah itu. “oh, Song Mi Na! benar-benar sebuah kejutan.”
Mi Na melirik ke arah Adrian yang ada di dalam ruangan rekaman, lalu kembali menatap Mike. “Apa aku mengganggu?”
“tentu saja tidak. Adrian baru saja ingin mengulang sedikit bagian.”
Adrian yang sudah beranjak keluar dari ruangan rekaman lalu menghampiri Mi Na sambil tersenyum. “aku tidak tahu kalau kau akan datang.”
“aku memang sengaja tidak memberitahumu. Aku ingin membuat kejutan.” Balas Mi Na dengan senyuman termanisnya. Ia lalu mengkerutkan keningnya begitu menyadari warna wajah Adrian yang berbeda. “apa kau baik-baik saja?”
“oh, ini…” ujar Adrian pelan sambil menahan rasa sakit di kepalanya yang muncul tiba-tiba. “ini masih belum apa-apa.”
“kau yakin?” tanya Mi Na, terdengar kekhawatiran dari suaranya itu. “apa kau tidak mau istirahat sebentar?”
“aku sudah coba memberitahunya tadi.” Sela Mike. “tapi sepertinya dia tidak akan mendengarkanku sama sekali.”
Adrian menatap Mike dengan mata disipitkan. “kau tahu sendiri, bagian ini harus aku selesaikan.”
“apa kau harus menyelesaikannya sekarang juga?” Mi Na kembali menyela. “jangan memaksa seperti itu, Adrian.”
“tapi aku…”
“kebetulan aku membawakan makan siang. Bagaimana kalau kau makan dulu?” bujuk Mi Na.
Mike menatap kedua orang di depannya bergantian. “Mi Na benar. Lebih baik kau makan dulu.”
Adrian hanya mendesah pelan, Ia lalu mengalah. “baiklah. Aku juga mulai lapar.”


Fiona sedang menikmati cappuccino hangat di kafe langganannya sambil membaca ulang buku favoritnya sejak empat tahun yang lalu, Fallen.
Ia teringat akan bagian favoritnya di buku itu. Fiona lalu membalik-balikkan halaman dan menggunakan telunjuk jarinya untuk menemukan paragraf yang masih diingatnya.
‘Love is fallen. Like Fallen Angels.’
Seulas senyuman manis tersungging dibibirnya. Fiona kemudian menatap ponselnya yang terbaring di meja. Tidak ada. Tidak ada pesan ataupun panggilan darinya. Sejak kemarin siang. Apa dia memang lupa?
Fiona hanya mendesah pelan dan kembali membaca bukunya. Selang beberapa saat, Ia kembali melirik ke arah ponselnya. Apa Ia harus mencoba untuk meneleponnya? Fiona tidak pernah menelepon Adrian lebih dulu. Laki-laki itu selalu meneleponnya setiap hari dengan alasan yang tidak jelas dan bertele-tele, tapi entah kenapa Fiona tidak pernah terlalu mempermasalahkan itu dan terkadang Ia lebih memilih Adrian yang suka iseng dan merepotinya dibandingkan Adrian yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar seperti ini. Setelah memutuskan untuk beberapa saat, Fiona akhirnya memutuskan untuk menelepon.
“Fiona-ssi.
Terdengar suara Adrian yang lemah di ujung sana. Fiona lalu mengkerutkan keningnya. “Adrian? Kau baik-baik saja?”
“ya. Tidak.. mmm, sepertinya tidak terlalu.” Jawab Adrian ragu.
Fiona terdiam sejenak. Mungkin itu alasannya Adrian tidak sempat menghubunginya kemarin.
“maafkan aku.” Kata Adrian tiba-tiba. “kemarin bukannya aku lupa menghubungimu. Aku sangat pusing, jadi aku ketiduran.. maaf.” Lanjut Adrian, seakan-akan Ia bisa membaca pikiran gadis itu.
“itu bukan masalah penting.” Sahut Fiona. “kau sendiri bagaimana? Kau sudah makan siang? Sudah minum obat? Kenapa kau tidak beritahu aku kalau kau sakit? Oh, dan sekarang kau ada di mana?”
Adrian terkekeh mendengar ocehan gadis itu. “aku benar. Kau memang cerewet.”
“apa?” suara Fiona sedikit melengking. “aku begini karena aku khawatir!” Fiona dengan cepat menutup mulutnya, terkejut dengan apa yang barusan Ia katakan. Ia lalu memukul pelan kepalanya. Bodoh! gumamnya dalam hati.
“aku tahu kau khawatir.” Balas Adrian setelah jeda beberapa saat. “aku senang, terima kasih.”
Fiona mendapati dirinya tidak bisa menjawab. Tenggorokannya terasa sedikit tercekat begitu mendengar nada bicara Adrian yang berubah lembut. Nada bicara yang bisa membuat Fiona terhipnotis. Nada bicara yang selalu Ia dengar setiap kali Adrian menatap kedua mata hijaunya lurus-lurus.
“tapi kau tenang saja.” Lamunannya dibuyar suara Adrian. “Mi Na datang ke studio dan membawakanku makan siang. Jadi setidaknya aku tidak kelaparan dan merengek-rengek memintamu membawakanku kimchi.
Mata Fiona melebar begitu mendengar nama Song Mi Na disebut. “Mi Na?”
“ya. Syukurlah dia datang.”
Fiona membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Bagaimana Mi Na bisa tahu kalau Adrian sekarang ada di studio? Apakah Adrian memberitahunya? Kenapa Fiona merasa tidak berguna dan tolol seperti ini? Dia bahkan tidak tahu apa-apa sebelumnya.

“kau masih ada di studio, bukan?” tanya Fiona tiba-tiba.
“ya. Ada apa?”
“aku akan ke sana sekarang.” Jawab gadis itu. “beritahu aku alamatnya.”
“kau tidak sibuk?” tanya Adrian ragu.
“tidak sama sekali.” Fiona lalu menutup novelnya dan memasukkannya ke dalam tas. “kalau kau sakit, kenapa tidak memberitahuku dari kemarin? Atau tadi pagi? Apa sangat susah hanya untuk mengirim pesan ‘aku sakit, bisa datang membantuku?’ atau kau memang hanya malas dan tidak mau terlihat lemah?”
“Fiona-ssi, aku…”
“kirimkan alamat studiomu lewat sms.” Sela Fiona. “tunggu di sana, jangan kemana-mana.” 



0 Comments:

Posting Komentar

2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.

© Sunny In Winter, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena