"Asal kau berada disampingku, di mana saja terasa hangat. terlihat terang. semuanya begitu jelas."

Kamis, 28 Maret 2013

Bagian Dua Puluh


Sudah sejak sejam yang lalu Fiona terpaku dalam posisi yang sama. Masih menggenggam erat pulpen hitamnya dan matanya tidak pernah berpaling dari kertas putih yang sudah dipenuhi hangul. Awalnya Ia berniat menumpahkan semua idenya dalam bahasa inggris, tapi entah kenapa, saat Ia sudah duduk di depan meja tulisnya dan siap untuk menulis, semua rencana itu berubah seketika. Semua pikirannya sudah tertulis di atas kertas dalam bahasa Korea. Semuanya sudah teratur sejak Fiona menulis sejam yang lalu. Satu demi satu, Fiona menumpahkan semuanya di atas selembar kertas putih. seakan-akan Ia tidak berpikir, Fiona membiarkan tangannya bergerak mengikuti perasaannya.
Kini tinggal satu paragraf lagi. Untuk yang satu ini Fiona benar-benar tidak tahu harus menulis apa. Karena untuk melanjutkannya Fiona tidak bisa menggunakan pikirannya sendiri. Ia butuh kepastian. Dan itu bukanlah kepastian dari dirinya. Karena Ia yakin, semua kebingungan dan kegelisahannya selama ini sudah bisa Ia atasi.
Suara pintu terbuka membuat Fiona terkesiap, Ia lalu menoleh ke arah pintu dan mendapati Min Rae yang memandangnya dengan alis terangkat. “menulis lagi?” mata hitam Min Rae lalu melirik ke arah kertas Fiona. “jarang sekali kau menulis dalam bahasa korea.”
Saat Min Rae mengulurkan tangannya untuk mengambil kertas itu, Fiona segera menarik kertasnya dan meletakkannya di dalam laci. “belum selesai.”
Min Rae mendengus. “kenapa kau selalu ‘bisa baca kalau sudah selesai’”?
Fiona menggeleng pelan dan tertawa hambar. “aku tidak suka karyaku dibaca setengah jadi. Aku janji akan memperlihatkannya padamu kalau sudah selesai. Oke?”
Min Rae akhirnya mengalah dan menarik tangan Fiona. “terserah. Tapi sebagai gantinya kau harus membantuku menghias pohon natal.” Fiona tidak menjawab, Ia hanya tersenyum dan membiarkan dirinya ditarik keluar kamar.



Good job, Adrian.” Puji Mike sambil menepuk bahu artis binaannya itu. Showcase spesial Natal mereka sukses besar, semua tiket konser habis terjual. Adrian menghembuskan napas lega dan segera menjatuhkan diri di atas sofa lebar. “aku sangat bersyukur kau tidak memperlihatkan wajah kusutmu di atas panggung.”
“aku tidak mungkin melakukan itu di depan semua penggemarku.” Ujar Adrian sambil memejamkan mata. Sesaat kemudian Ia tersenyum. “jujur saja, aku tidak bisa menahan senyum saat mereka tersenyum lebar untukku.”
Mike kemudian menghampiri Adrian dan mengacak-ngacak rambut pria itu. “itulah Harrison yang aku tunggu-tunggu. Baguslah kalau penggemarmu bisa membuat suasana hatimu lebih baik.”
“mmm.” Jawab Adrian singkat. Ia tahu kalau suasana hatinya yang sempat membaik tidak akan bertahan lama. Saat semua kemeriahan ini sudah selesai, Adrian akan kembali merenung dan otaknya akan kembali dipenuhi dengan gadis itu. Mungkin penggemarnya memang bisa menghibur dirinya, tapi bahkan saat Adrian menyanyikan beberapa lagu, bayangan Fiona muncul begitu saja tanpa permisi. Mungkin itu karena Ia terlalu menghayati lagunya. Sampai-sampai Fiona menghampiri pikirannya hampir di setiap lagu yang ia nyanyikan. Seakan-akan semua lagu itu hanya Adrian curahkan untuk Fiona.
“hey, aku keluar dulu. Harus membantu para kru di luar. Kau istirahat saja, oke?” Suara mike membuyarkan lamunan Adrian. Ia lalu bangkit dari sofanya dan mengangguk singkat. Sesaat kemudian Adrian mengambil ponselnya yang diletakkan di atas meja rias. Ia lalu mengaktifkan ponselnya dan menatap wajah gadis blasteran yang terpampang di layarnya. Adrian sendiri juga tidak tahu kenapa tadi siang Ia mengganti latar belakang ponselnya dengan foto Fiona. Mungkin itu karena Ia terlalu merindukan gadis itu. Merindukan suaranya… tatapannya. Merindukan cara gadis itu menatap dirinya.
Adrian terkesiap saat ponsel ditangannya bergetar. Nama “Cherry Blossom” kemudian muncul di layar ponselnya dan mata Adrian melebar. Untuk beberapa saat Adrian hanya terpaku seperti itu. Ia akhirnya menggelengkan kepala untuk menyadarkan diri. Sebelum gadis itu memutuskan panggilannya, Adrian buru-buru memencet tombol “ok.”
Dengan perlahan Adrian menggerakkan ponselnya ke arah telinganya, ada perasaan takut kalau yang menghubunginya itu bukanlah Fiona. Semua ini terasa seperti mimpi.
“ha-lo?” suara lemah dan ragu terdengar dari ujung sana.
‘memang dia.’ Ujar Adrian dalam hati. Seulas senyuman manis muncul di wajah Adrian tanpa Ia sadari. Rasanya sudah seperti puluhan tahun tidak mendengar suara gadis itu. Sudah berapa hari mereka tidak bertemu? Tiga hari?
“Adrian? Kau di sana?” ujar Fiona lagi.
“mm. aku di sini, Fiona. di sini.” Adrian tidak bisa menahan perasaan lega dan ringan yang kini menyerbu dadanya. Ia yakin ini adalah perasaan terbaik yang pernah Ia rasakan di dalam hidupnya. Senyumnya lalu melembut. “sudah lama… tidak bicara. Selamat Natal.”
Fiona tidak menjawab untuk beberapa saat. Adrian hampir yakin kalau gadis itu sudah memutuskan sambungan. Tiba-tiba terdengar tawa rendah, “bukankah hanya 3 hari kita tidak bertemu? Tapi kau benar, rasanya lama sekali. Mungkin karena tidak ada yang memerintahiku untuk memasak lagi.” Ujar Fiona, lalu “selamat Natal juga, Adrian.”
‘tidak ada yang memerintahiku untuk memasak lagi.’ Adrian mengulang perkataan Fiona itu di benaknya. Mungkin gadis itu memang benar-benar tidak merindukannya, seperti Adrian merindukan gadis itu. Adrian tidak tahu harus berbicara apa, rasanya pikirannya kosong seketika, namun Fiona kembali bersuara, “kau sedang apa?”
“aku baru saja menyelesaikan showcase natal.” Jawab Adrian. “maaf tidak mengundangmu.”
“tidak masalah. Lagipula aku juga sedang membantu Min Rae menghiasi pohon natal.” Balas Fiona. “aku yakin dia tidak akan membiarkanku pergi begitu saja.”
Setelah Fiona selesai bicara, Adrian benar-benar tidak tahu bagaimana Ia harus menanggapi. Ya Tuhan, kenapa otaknya tiba-tiba sangat lamban? Adrian sangat tidak ingin kalau Fiona cepat-cepat mematikan ponselnya dan…
“ngomong-ngomong soal Natal…” Gadis itu kembali memulai pembicaraan. Adrian lalu menghembuskan napas lega.
“besok… bagaimana? Kau memang akan menunggu atau tidak? Aku tidak ingin terlihat seperti gadis tersesat.” Ujarnya sambil bergurau.
Senyum Adrian melebar. Ia tidak bisa menolak seberkas harapan yang muncul di dalam hatinya. “aku memang berencana seperti itu.”
“lalu?”
“aku tunggu kau jam tujuh malam di sungai Hangang. Tidak, terserah kau saja mau datang jam berapa. Aku akan menunggu.” Jelas Adrian.
“baiklah. Apa aku hanya perlu membawa diriku?”
Adrian tertawa singkat, Ia lalu berkata, “hanya dirimu. Jangan bawa Min Rae. Apalagi Jae Woo.”
Fiona tersenyum lebar mendengar gurauan Adrian. Namun Ia yakin Adrian tidak bercanda. “baiklah. Sampai jumpa besok, Adrian.”
“Fiona.”
“ya?”
“aku merindukanmu. Sangat.”

Salju turun di hari Natal. Pagi ini bahkan terasa seperti es. Awalnya Fiona hanya berencana menggunakan gaun kasual putihnya, namun sepertinya sekarang harus ditambah dengan baju dingin berbulu warna putih dan sepatu boots putih. seluruh tubuhnya terasa dingin, Fiona pun akhirnya memutuskan untuk menggunakan earmuffs putih yang sesuai dengan warna pakainnya. “sudah siap.” Gumam Fiona dalam hati.
Fiona segera bergegas keluar kamarnya dan mencari-cari Min Rae yang sepertinya sedang tidak ada di apartemen. Saat Fiona hendak mematikan pemanas di ruang tamu, Ia mendapati kertas kecil berwarna merah yang tertempel di kulkas. “aku ada acara natal mendadak. Mungkin akan kembali besok pagi. Merry Christmas my beautiful girl, Park Hwa Young! Semoga natalmu menyenangkan.”
“Semoga natalmu menyenangkan juga Min Rae.” Ujar Fiona sambil tersenyum menatap kertas merah itu. Ia lalu melipat dan menyelipkan kertas itu ke dalam tas kecilnya. Fiona melirik jam tangannya sesaat dan lalu bergegas mengambil kunci apartemennya.


“Kau ingin aku melukismu seperti itu?” Tanya Jae Woo dengan sebelah alis terangkat. Semua peralatan melukisnya sudah siap. Sejak tadi Ia hanya terduduk di kursi tingginya di depan kanvas besar menunggu Fiona. Gadis itu membuka pintu studionya tepat di saat Jae Woo sedang tenggelam dalam imajinasinya.
“apa kau tidak tahu kalau di luar sangat dingin?”
“sejak kemarin aku ada di studio.” Jawab Jae Woo. “mungkin akan lebih baik jika aku bisa melihat wajahmu dengan jelas.”
Fiona menyadari wajahnya yang tertutupi bulu jaket tebalnya. Ia segera melepaskan jaketnya dan meletakkan tas juga jaketnya di sisi sofa di seberang ruangan. “sudah lebih baik?”
Jae Woo memperlihatkan senyum lebarnya. “lebih baik.”
“jadi… kau ingin aku bagaimana?” Tanya Fiona ragu.
Jae Woo kembali mengangkat sebelah alis. “maksudmu? Oh… kau tidak perlu berpose atau semacamnya. Aku sudah biasa melukismu tanpa kau sadari.”
“apa?”
Jae Woo kembali tersenyum dan kini menatap Fiona yang menatapnya dengan mata agak tidak percaya. “aku selalu melukismu, Hwa Young. Saat kau menulis, saat kau membaca. Saat kau melakukan apapun yang menurutku terlihat menarik.” Jelas Jae Woo. “dan lukisanmu yang kau lihat dulu, bukanlah satu-satunya. Masih ada puluhan lainnya.”
Fiona tidak menjawab untuk beberapa saat. Ia lalu bertanya, “bagaimana kau bisa melukis sebanyak itu? Memangnya kau bisa mengingat setiap detail?”
Jae Woo kemudian mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan jari telunjuk. “setiap detail wajahmu sudah tercetak di sini.” Ujarnya. “awalnya aku pikir dengan melukis bisa membantuku melupakan banyak hal. Karena aku bisa melukis isi pikiranku di atas kanvas, dan membiarkan mereka menempel di sana, mencegah mereka untuk kembali ke otakku. Tapi untuk melupakanmu…”
Belum sempat Jae Woo menyelesaikan kalimatnya, Fiona segera mengalihkan pembicaraan. “bagaimana kalau kita mulai sekarang? Aku hanya perlu diam saja, bukan? “
“sulit.” Ucap Jae Woo menyelesaikan perkataannya. Ia lalu mengambil kuas kecilnya dan dengan tangan terangkat, siap untuk melukis, Ia menatap Fiona. “lakukan apa saja yang kau mau.”
Fiona mengangguk pelan. Ia duduk di atas sofa dan menatap lantai. Kenapa Jae Woo harus memberitahunya semua itu saat ini? Kenapa tidak dari dulu? Saat Fiona masih mengharapkannya. Saat Fiona masih sangat ingin bersamanya. Semua perkataan Jae woo barusan, walaupun itu memang benar-benar berasal dari lubuk hatinya, tidak akan merubah apapun. Karena Fiona sudah tidak ingin melihat kembali ke masa lalu.
“Fiona.” Suara Jae Woo membuyarkan lamunan Fiona. Saat Fiona mendongak, Jae woo sudah berdiri di depannya. “aku ingin kau menggunakan ini.”
Mata Fiona lalu mengarah ke arah gelang perak yang penuh dengan bintang-bintang kecil berwarna hijau. Hanya dengan sedikit gerakan, gelang itu bisa memantulkan cahaya hijau yang sangat indah di sekitarnya. “kau ingin aku menggunakan ini saat kau melukis?”
“gelang ini untukmu. Dan ya, aku ingin melukismu dengan gelang ini.” Ujar Jae Woo sambil mengulurkan tangannya. Fiona membiarkan Jae Woo mengenakan gelang bintang itu di pergelangan tangannya. “aku rasa gelang ini sangat cocok dengan warna matamu. Jadi aku memutuskan untuk membeli gelang ini kemarin sebagai hadiah Natal. Selamat Natal, Hwa Young.”
Untuk beberapa saat Fiona hanya menatap gelang itu. Ia tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari cahaya hijau yang terus dipantulkan bintang-bintang di gelang itu. “terima kasih. Maaf, seharusnya aku juga membawa hadiah Natal.”
“aku tidak mengharapkan hadiah apapun darimu.” Kata Jae Woo. “kau bersedia menjadi model lukisanku, itu sudah lebih dari cukup.”
Fiona hanya tersenyum tipis. Ia tahu kalau Jae Woo berusaha untuk memperlakukan Fiona sebaik mungkin. Jae Woo ingin Fiona melihat kalau dia bukanlah lagi laki-laki kurang ajar. Dan Ia ingin meyakinkan Fiona kalau ia diberikan kesempatan lagi, Ia akan menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Fiona bisa melihat semua itu dan semua yang Ia bisa lakukan hanyalah menghargai usaha Jae Woo.
“Baiklah kita bisa mulai sekarang.” Ujar Jae Woo yang kembali berhadapan dengan kanvasnya. Fiona hanya duduk dan menatap gerak tangan Jae Woo di atas kanvas dan raut wajah seriusnya. Untuk beberapa saat Jae Woo mengalihkan perhatiannya dari kanvas ke wajah Fiona, hanya untuk memastikan kalau ia melukis ekspresi yang sesuai.
Tak lama kemudian mata Fiona berpaling ke arah jendela besar di ruang studio. Lewat jendela itu Fiona bisa melihat butir-butir salju berjatuhan. Di tambah lagi dengan hiasan lampu-lampu natal yang terang benderang digantung hampir di setiap atap rumah. Fiona pun beranjak dari sofa dan segera menghampiri jendela besar itu. Ia mencondongkan badannya untuk melihat lebih jelas ke bawah. Matanya melebar dan senyum manis terulas di wajahnya.
Saat itulah Jae Woo terpana. Senyum Fiona, mata hijaunya yang berkilat-kilat. Kau bisa melihat kegembiraan Fiona yang terpancar begitu jelas. Dengan gerakan tangan yang begitu cepat, Jae Woo melukis setiap detail Fiona, berharap agar gadis itu tidak merubah posisinya.



Fiona yakin kalau Ia harus berada di sini tepat pada jam tujuh. Ia yakin ia tidak salah dengar kemarin. Fiona sudah mencoba untuk menghubungi Adrian tapi ponselnya tidak diangkat-angkat. “sebenarnya dia ada di sini atau tidak sih? Dia ada di mana juga tidak jelas…” gumam Fiona agak kesal.
Ia sudah memasang mata dan telinga. Berusaha mencari sosok Adrian di sekelilingnya, tapi tidak ada tanda sama sekali. Ia sudah mencari selama lima belas menit, Fiona hampir memutuskan untuk pulang. Saat itu juga ponselnya bergetar, dan Fiona bergegas menatap layar ponsel.
“maaf sudah membuatmu kebingungan.”
Hanya itu? Kekesalan Fiona memuncak. Ia cepat-cepat membalas pesan Adrian. “sebenarnya kau ada di mana? Aku sudah menunggu sejak tadi.”
“di sini. Aku bisa melihatmu”
“di sini di mana?! Berhenti membuatku terlihat seperti orang tolol.”
Setelah itu Fiona tidak mendapat balasan lagi. Saking kesalnya, Fiona hanya melempar ponselnya ke dalam tas. Ia tidak tahu harus mencari ke mana lagi. Sebenarnya apa rencana Adrian? Bermain petak umpet? Kalau itu memang rencananya, Fiona tidak punya banyak waktu. Saat Ia hendak berjalan meninggalkan tempat, tiba-tiba suara alunan piano terdengar dari ujung jalan. Alunan piano itu tidak terdengar begitu jelas, tapi Fiona tahu alunan piano itu. Ini adalah lagu korea yang dikenalnya. Fiona merenung, dan Ia tiba-tiba teringat akan suara gitar yang Ia dengar kemarin dari kejauhan. Suara gitar Adrian…
Fiona segera berlari mengikuti sumber alunan piano itu, dan tak lama kemudian, Ia bisa melihat laki-laki berjas putih dengan kemeja hitam dan celana panjang putih sedang memainkan piano di atas panggung kecil di pinggir sungai Hangang. Tidak hanya itu, Fiona juga mendapati dirinya di sekelilingi lilin-lilin kecil yang dinyalakan di setiap sisi jalan. Cahaya mereka yang redup menyatu, menerangi jalan setapak di pinggiran sungai Hangang. Kini dengan langkah pelan dan pasti Fiona menghampiri panggung kecil itu, dan suara alunan piano semakin jelas. Fiona semakin yakin kalau ini memang lagu yang Ia kenal.
Laki-laki itu menyadari kehadiran Fiona dan Ia menoleh ke arah gadis itu. Ia menyunggingkan senyum manisnya, dan Fiona bisa merasakan kehangatan yang sudah tidak asing lagi.

Aku kira ini adalah akhir dari ingatanku
Wajah yang tidak akan pernah aku lihat lagi melewatiku
Aku berdiri di tepi di mana aku tidak bisa melakukan apapun
Aku menyatukan kedua tangan dan berdoa

Agar aku bisa menunjukkan hatiku padamu
Hati yang masih belum melakukan apapun

Berdiri lagi
Aku ingin melihatmu yang sudah menungguku
Kembali lagi
Aku ingin mengatakan “aku mencintaimu”

Aku pikir dunia sudah berhenti
Hanya saat-saat bahagia yang sekarang melewatiku
Aku berdiri di tepi, berpikir aku tidak akan pernah memilikimu
Aku hanya berdoa seperti itu

Agar aku bisa merasakan cinta
Yang pernah kulewati

Aku sudah hidup tanpa menyadari
Betapa berharganya dirimu

Berdiri lagi
Aku ingin melihatmu yang sudah menungguku
Kembali lagi
Aku ingin mengatakan “aku mencintaimu”
Terjemahan “Love Again”- Kyu Hyun, S.M Ballad

Fiona masih terpaku dalam posisinya, seakan-akan tidak bisa menggerakkan kakinya yang tiba-tiba terasa berat, Fiona hanya terdiam di sana, menatap Adrian yang kini turun dari panggung kecilnya.
Ia berjalan ke arah Fiona, masih dengan senyum yang menghangatkan seluruh dunia gadis itu. “selamat Natal, Fiona-ssi.” Ujar Adrian. Fiona hanya terdiam, merasa bibirnya tiba-tiba kaku. Apa yang harus dikatakannya?
Adrian hanya menatap Fiona, menunggu gadis itu untuk mengatakan sesuatu. Matanya lalu terarah ke pergelangan tangan Fiona. “gelang yang bagus.”
Fiona melihat tangan kanannya. Ia baru ingat kalau kini pergelangan tangannya sudah dihiasi gelang dari Jae Woo.
“persis seperti matamu.” Ujar Adrian lagi.
“ya.” Jawab Fiona singkat. Ia menyentuh gelang itu, dan dengan perlahan memainkan bintang hijaunya.
“Apa Jae Woo yang memberikannya untukmu?”
pertanyaan Adrian barusan membuat Fiona sedikit terkejut. Bagaimana laki-laki ini bisa menebak dengan tepat? “iya… sebagai hadiah natal.” Jawab Fiona dengan suara samar. Entah kenapa, gadis itu merasa takut. Takut Adrian akan pergi saat Fiona mengucapkan itu. Takut Adrian akan menghindarinya lagi seperti kemarin-kemarin.
Saat Fiona hendak mengatakan sesuatu, Adrian membuatnya terkesiap. Laki-laki itu meraih tangan kanan Fiona dan menyentuh gelang bintang di pergelangannya. Sambil memperhatikan gelang itu dan dengan seluruh keberanian yang sudah Ia kumpulkan, Adrian akhirnya mengatakan,
“aku mencintaimu.”

 

 

Read More

Sabtu, 02 Februari 2013

Bagian Sembilan Belas

What a bad timing, Luis.” Ujar Mi Na yang muncul dari belakang Luis Murray tiba-tiba. Pria jangkung itu membalikkan badan dan menatap sepasang mata hitam bulat milik Mi Na. Ia lalu menampilkan senyuman seribu wattnya. “oh, hey Mi Na.”
Mi Na menggeleng pelan dan memutar bola mata. “kau masih suka merayu walaupun sudah menemukan gadis spesialmu?”
“aku rasa ini sudah menjadi kebiasaan.” Ujarnya tak acuh. “lagipula kau seharusnya bersyukur karena bisa menatap senyumanku secara langsung. Kau tahu, banyak gadis yang membayar untuk…”
dia sungguh gadis yang beruntung.” Sela Mi Na dengan nada menyindir dan tatapan sinis. “siapapun yang kau cari di sini sekarang tidak ada.”
Luis mengangkat sebelah alis masih dengan senyuman yang terpapar di wajahnya. “kau jelas tahu apa tujuanku ke sini. Maaf Mi Na, lain kali aku akan benar-benar melihat sekeliling butikmu.”
“Terserah.” Jawab Mi Na. “kau punya lima menit?”
“tentu.” Ujar Luis sambil masih melemparkan pandangannya ke sekeliling ruangan untuk memastikan Mi Na tidak berbohong.
Mi Na mendesah pelan. “aku tidak berbohong.” Tukasnya, bisa menebak apa yang ada di pikiran Luis. “ikut aku. Di sini terlalu banyak saksi mata.”
Luis kembali mengangkat sebelah alis, tatapannya penuh heran. Dia hanya mengangkat bahu dan berkata, “terserah kau saja.”
Luis berjalan mengikuti Mi Na yang menuntunnya keluar butik. Hujan rintik-rintik membasahi jalan raya yang dilalui mobil-mobil mewah. Jarang sekali kendaraan bermotor terlihat di sekitar wilayah Myong Dong yang satu ini.
“Kau ingat? Waktu itu di Kyung Hee.” Ujar Mi Na setelah beberapa saat keduanya membisu. “aku tahu kau tertarik dengan gadis itu.”
Luis tersenyum tipis sambil menatap ke arah jalan raya. “sepertinya kau sudah menyatakan itu berulang kali. Bukankah begitu, Mi Na?”
“apa kau benar-benar tertarik dengannya?” Tanya Mi Na mengabaikan perkataan Luis. “dia jelas bukan tipe gadis seperti biasanya. Bukan seperti gadis yang kau sering rayu dan temui di lingkunganmu. Park Hwa Young, gadis yang… berbeda.”
Kini Luis tertawa rendah, namun Ia terdengar terluka dan jelas itu dibuat-buat. “jadi sekarang kau ingin mengatakan bahwa aku punya selera yang rendah?” balasnya. “aku kira kau membenci putri dari Julia Scarlett itu.”
“jadi kau tertarik dengannya hanya karena dia adalah putri dari artis Inggris terkenal itu?” Tanya Mi Na lagi. “untuk apa? Bukankah cukup untuk menjadi produser paling diminati di Korea?”
Luis mengangkat bahu. “entahlah. Mungkin kau benar, itu adalah salah satu alasannya. Tapi ada sesuatu yang lebih kuat dari pada itu. Sesuatu yang mampu meyakinkanku bahwa dia adalah gadis yang begitu menawan dan diminati.
Mi Na tertawa lebar dan dengan nada setengah percaya, dia berkata “mendengar kata-kata tulus seperti itu keluar dari mulutmu benar-benar sebuah lelucon.”
“Adrian Harrison.” Kata Luis mengabaikan anggapan Mi Na. Kini Mi Na menatapnya dengan tatapan terkejut.
“apa maksudmu?”
“tidak bisakah kau lihat itu semua? Caranya menatap Fiona Park. Caranya berbicara dan memperhatikan setiap gerak gerik gadis itu.”
Mi Na masih terdiam dan sedikit terkejut dengan kemampuan Luis yang bisa menebak perasaan seseorang hanya dari gerak geriknya. Padahal Mi Na sendiri tahu, walaupun Adrian dan Luis saling mengenal, tetapi mereka jarang bertemu langsung di lokasi. Dan dari cara Luis mendeskripsikan gerak-gerik Adrian, terdengar seperti mereka sudah bersahabat sejak lama.
“dan aku rasa bukan hanya Adrian yang mempunyai selera tinggi.” Lanjut Luis. “aku juga tahu gadis mana yang benar-benar menarik. Kau tahu?”
“Jadi kau benar-benar tulus, dengan Park Hwa Young?” Tanya Mi Na kembali.
“kenapa harus Park Hwa Young? Bukankah lebih bagus Fiona Park?” ujarnya tak acuh. “ya, aku menyukai gadis itu. Sangat. Terobsesi. Dan dia juga sasaran Adrian. It’s a tight competition, huh?”
Mi Na tidak merespon untuk beberapa saat, dia memalingkan pandangan ke jalan raya dengan perasaan dongkol. Kenapa, gadis pendiam, pemalu dan penyendiri seperti Fiona bisa menarik begitu banyak hati laki-laki? Ditambah lagi, Fiona juga adalah saingannya untuk mendapatkan Adrian. Ingin sekali Mi Na menjawab Luis, ‘Surely, it is a very tight competition.’
Tetapi Mi Na menahan niatnya itu. Ia justru berkata. “kalau begitu tujuan kita sama.”
Kini Luis yang tertawa lebar. “jangan bilang kalau kau tertarik dengan Adrian Harrison?”
Mi Na menatapnya dengan kedua mata disipitkan. “sayangnya bahasaku tidak semurah bahasamu. Aku bukan tertarik dengannya. Aku memuja dan sangat, sangat menyukainya.
“Oh, wanita yang sangat berani. Sayang sekali Adrian pria yang sulit.” Balas Luis.
“kau tahu dari mana?”
“televisi, surat kabar, majalah.”
Mi Na menatap Luis dan mendesis kesal. “itu hanya gosip. Berita murahan.”
“kalau aku bertanya padamu. Mi Na, bukankah Adrian pria yang sulit ditaklukkan?” tanya Luis penuh percaya diri. Melihat Mi Na yang tidak menjawab pertanyaannya dan masih memperlihatkan tatapan kesal itu, Luis tahu kalau dirinya benar. Ia lalu tersenyum dengan penuh kemenangan.
“jadi kita berdiri di sini karena kita menginginkan hal yang sama?”
Mi Na mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Kini senyumnya melebar dan dia menatap Luis. “bukankah hidup akan jauh lebih menyenangkan, jika kita bisa memiliki orang yang kita sukai?”
 “Itu memang tujuan hidupku.” Ujar Luis.





Esok hari adalah hari Natal. Dan besok, Fiona harus memenuhi janjinya untuk menjadi model lukisan Lee Jae Woo. Gadis itu mendesah pasrah. Sekali ini saja, Fiona. Hanya sekali ini saja kau membantunya. Gumamnya dalam hati. Fiona tidak ingin menyesali keputusannya untuk membantu Jae Woo, kalau sampai Ia menyesalinya, mungkin semuanya akan bertambah buruk. Jadi lakukan saja dan selesaikan. Setelah itu, Ia berharap Jae Woo tidak memperlihatkan wajahnya lagi di depannya.
Sejak tiga hari yang lalu laki-laki itu sama sekali tidak menghubunginya. Mau itu untuk menjadi guru bahasa Koreanya, koki pribadinya, ataupun desainer pribadinya. Sama sekali tak ada kabar dari Adrian. Laki-laki itu juga tidak berkunjung ke butik. Atau menghampiri kampus Kyung Hee dengan alasan tidak jelas seperti biasanya. Walaupun Fiona berusaha untuk menahan, tapi Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau Ia merindukan suara Adrian. Fiona tiba-tiba teringat akan kata-kata terakhir Adrian di telepon, tapi aku akan tetap menunggu.”
Fiona mendesah sekali lagi. Apapun itu alasannya Adrian tidak ada kabar akhir-akhir ini sama sekali bukan urusannya, bukan? Fiona menggeleng tegas, dan beranjak dari kursinya menuju dapur.
“bukankah menurutmu rumah kita begitu kosong?” terdengar suara Min Rae dari ruang tengah. “kita sama sekali belum membeli perlengkapan Natal.”
“Mmm, aku sibuk akhir-akhir ini.” Sahut Fiona. Ia membuat dua cangkir teh hijau dengan dua balok gula dicelupkan di setiap cangkir.
“Hwa Young-ssi. Kau tidak lihat semua lampu bergemelapan di luar sana setiap malam?”
“ya, aku sudah lihat.” Fiona lalu menghampiri Min Rae yang berbaring di sofa sambil membalik-balikkan halaman majalah dengan asal. “ini tehmu.”
“terima kasih.” Ujar Min Rae. “bukumu. Sudah selesai?”
Fiona yang tadinya menunduk menatap uap dari cangkir tehnya kini mendongak menatap Min Rae. Temannya balas menatap dengan penuh arti, menunggu jawaban dari Fiona. “akhir-akhir ini aku belum mendapat inspirasi baru.”
“bukankah tadi kau bilang kau sibuk?”
“memang.” Balas Fiona. Ia terdiam sejenak, bertanya-tanya pada dirinya sendiri, sebenarnya Ia sibuk apa? Apakah tadi Ia hanya asal bicara? Bukan. Sebenarnya bukan tangannya yang sibuk menulis atau mengetik. Otaknya yang sibuk berpikir. Berpikir tentang hal yang baginya seharusnya tidak dipikirkan. Berpikir tentang hal sepele yang hanya menghabiskan waktunya. “sibuk berpikir…untuk mencari inspirasi. Tapi tidak berhasil.”
“oh.” Tanggap Min Rae, sama sekali tidak merasa curiga. “sebenarnya buku yang kau tulis tentang apa sih?”
“bukankah sudah kubilang, belum saatnya untuk memberitahu.”
“kenapa harus dirahasiakan?”
“karya yang hebat memang harus menjadi kejutan.” Balas Fiona sambil tersenyum.
Min Rae mengangguk pelan dan tersenyum pula, “oh, ya! Aku hampir lupa.” Ujar Min Rae sebelum Ia meneguk teh hijaunya. “kemarin karena kau tidak ada di kampus, ada dua wartawan dari Inggris yang mencarimu.”
Wartawan? Dari Inggris? Kedua mata Fiona sedikit melebar, Ia mulai was-was. Apa jangan-jangan dirinya…
“mereka ingin mewawancaraimu soal karya tulismu yang dipublikasikan di majalah sastra, juga soal beasiswa di Oxford.” Jelas Min Rae. “ditambah lagi sedikit tentang biografimu.”
“Biografiku?”
Min Rae mengangguk pelan. “aku tahu, Hwa Young.” Ucap temannya pelan. “beritahu mereka seperlunya saja.”
Fiona mengangguk dan tersenyum tipis. “ya, seperlunya saja.”
“hah, kenapa mereka tidak mewawancaraiku juga ya? Padahal aku juga menerima beasiswa. Menyebalkan.”
Fiona hanya menatap temannya itu sambil tersenyum lebar. Min Rae melempar majalahnya ke meja dan gadis itu melompat dari sofanya. “jadi tunggu apa lagi? Ayo kita pergi.”
Fiona mengangkat sebelah alis heran. “ke mana?”
Min Rae mengulurkan tangannya dan menunjuk keluar jendela. “ke mana saja, yang menjual banyak hiasan Natal.”
 



“Terakhir kali aku melihatmu, kau juga berbaring seperti itu.” Ujar Mike Wylson sedikit mengejutkan Adrian yang sedang berbaring terbalik dan membenamkan kepalanya di bantal. “dan sudah ketiga kalinya aku melihatmu seperti itu.”
Adrian masih tidak menjawab. Ia masih bertahan dengan posisi semulanya. “sejak dua hari yang lalu.” Ujar Mike lagi.
“tidak usah kau ingatkan.” Balas Adrian yang sudah berbalik menatap langit-langit kamar.
“kau terlihat seperti orang yang sudah bosan hidup.” Ucap Mike sambil menatap Adrian heran dan menggeleng pelan. “apa yang terjadi denganmu?”
“entahlah.” Ujar Adrian sambil memejamkan mata. Kini Ia berbalik ke arah kanan dengan tangan kanan melentang dan tangan kiri menopang pipinya. Ia menatap buku kecil berwarna cokelat tua buatannya itu di atas meja kecil di samping tempat tidur. “sudah lama aku belum makan kimchi.
“kau ingin aku memesankan beberapa untukmu?” tawar Mike.
“tidak usah.”
“kalau begitu…” ucapan Mike terhenti sejenak. Kini Mike menatap Adrian dengan mata sipit dan senyum menggoda. “kau bosan hidup karena Fiona Park?”
“apa?” Adrian menatap manajernya itu dengan mata melebar kaget. Tidak mungkin dirinya semudah itu bisa ditebak. “apa katamu?”
“kau belum bertemu dengannya belakangan ini, bukan?” tanya Mike penuh percaya diri. “aku ini sudah menjadi manajermu selama lima tahun. Tidak susah lagi menebak isi pikiranmu.”
“lalu kenapa kau masih ada di sini?” kata Adrian. “keluar. Aku tidak suka diganggu di saat seperti ini.”
“wah, kau memang selalu pandai bersikap kasar dalam suasana hati seperti itu.” Balas Mike, sama sekali sudah terbiasa dengan sikap artisnya itu. Adrian tiba-tiba bangun dari tempat tidurnya dengan cepat dan meraih jaket di sofa.
“mau ke mana?” tanya Mike yang masih menyandarkan bahu di ambang pintu. Adrian mengambil kunci mobilnya di meja kerjanya yang masih tertutupi kertas-kertas dengan penuh coretan lirik lagu.
“cari udara segar. Kalau ada yang ingin menemuiku, bilang aku sibuk. Tidak bisa diganggu.” Kata Adrian sambil berjalan keluar pintu kamar melewati Mike.
Mike yang menatap Adrian sudah berjalan jauh meninggalkan kamarnya lalu berteriak, “hey, ingat kau punya jadwal showcase malam Natal hari ini! Jangan kabur lama-lama!”


Sesampainya Adrian di dalam mobil, Ia lalu melirik ke arah gitar akustik berwarna putih di kursi belakang. Ke mana lagi Ia bisa pergi selain ke taman luas yang penuh dengan udara segar dan memainkan gitarnya? Tidak peduli siapapun yang mengerumuninya. Tapi pikirannya, otaknya, tenggelam sendiri dalam lagu yang dimainkannya. Seandainya dia bukan seorang artis. Seandainya dia hanya mahasiswa musik biasa yang masih menekuni jurusannya di universitas. Akan jauh lebih mudah untuk bermain musik dan bernyanyi di manapun. Tapi itu semua tidak penting. Yang penting adalah sekarang, Ia harus mencari cara untuk mengalihkan pikirannya dari gadis itu. Gadis bermata hijau yang sangat Ia rindukan. Dan entah kenapa, dirinya sama sekali belum menghubungi gadis itu. Dan sepertinya gadis itu sendiri juga tidak peduli.
Sudahlah Adrian. Kau tahu sendiri dia masih belum melupakan orang itu.
Ujar Adrian dalam hati. Lalu seulas senyuman pasrah kembali menghiasi wajahnya untuk kesekian kalinya. Adrian pun memutar kunci mobilnya dan membiarkan mobil itu membawa dirinya ke manapun itu.



Hanya dengan keluar rumah saja, Fiona dan Min Rae sudah bisa melihat beberapa toko kecil di pinggir jalan yang menjual hiasan gemerlap untuk Natal. Melihat kota Seoul penuh dengan warna di hari sebelum Natal merupakan hari favorit Fiona. Ternyata melihat itu semua cukup untuk membuat otak Fiona sedikit lebih ringan. Ia bisa menghirup udara segar kota Seoul di pagi hari. Melihat anak-anak kecil yang tertawa dan tersenyum lebar dengan orang tuanya sambil memakai topi natal dan menggenggam kantung merah dan hijau besar yang menampung beberapa hadiah dan permen. Menyaksikan itu semua membuat Fiona tersenyum lebar. Seandainya sekarang ayah dan ibunya bisa bersama dia…
“Hwa Young-ssi, ayo kita ke sana!” kata Min Rae sambil menarik tangan Fiona. Walaupun Min Rae sudah menarik tangan Fiona, tapi sepertinya gadis itu terlalu bersemangat sehingga Ia berlari-lari masuk ke dalam toko kecil yang penuh dihiasi dengan lampu warna-warni dan mistletoe, juga boneka-boneka Sinterklas dan hadiah-hadiah kecil dengan warna pelangi diletakkan di sisi jendela toko.
Fiona tersenyum memperhatikan temannya itu. Saat Ia bermaksud untuk menyusul Min Rae, tiba-tiba suara gitar yang lembut terdengar dari kejauhan. Mendengar alunan gitar itu mengingatkan Fiona akan suara yang pernah Ia dengar sebelumnya. Kedua matanya kemudian melebar kaget dan tanpa berpikir panjang, Fiona berlari kecil mencari sumber suara gitar itu. Tak lama kemudian, Ia bisa melihat kerumunan kecil di sisi lapangan luas dari kejauhan. Siapa, yang sedang dikerumuni orang-orang itu?
Sekarang Fiona berjalan lebih pelan, mendekati kerumunan itu. Ia kemudian bisa mendengar suara merdu yang sudah tidak asing lagi baginya. Suara yang Ia rindukan. Hanya empat hari tidak mendengar kabar darinya, Fiona baru sadar betapa dirinya merindukan laki-laki itu hingga matanya terasa panas hanya dengan mendengar suaranya. Namun Fiona tidak bisa mendengar dengan jelas lagu apa yang sedang dinyanyikannya. Yang hanya bisa Ia lihat dengan jelas hanyalah kerumunan orang-orang. Dan kali ini bukan hanya para gadis muda yang menutup mulut mereka untuk menahan teriak atau mengeluarkan kamera dan ponsel untuk mengambil gambar laki-laki itu. Tapi anak-anak kecil yang terlihat berumur sekitar lima tahunpun juga menyaksikkan pertunjukkan kecil itu.
Beberapa orang berjalan ke samping dan secara tidak langsung memberikan ruang untuk Fiona melihat orang yang sudah dicari-carinya. Dengan tidak sadar, bibir Fiona membentuk namanya, “Adrian.”
Kini mata Fiona tidak bisa berpaling dari Adrian. Seperti saat itu Adrian bermain gitar di depan stasiun kereta. Seperti itulah kini perasaannya. Hanya saja perasaannya saat ini lebih dari itu. Perasaannya campur aduk. Rindu. Kagum. Cemas. Dan… bersalah. Kenapa yang terakhir itu bisa muncul? Entahlah. Hanya saja Fiona yakin Ia juga merasa bersalah.
Ingin sekali Fiona berlari ke arah sana, menatap Adrian lebih dekat, memanggil namanya agar dia tahu kalau Fiona ada di sana. Ingin sekali… ingin sekali Fiona memeluk Adrian. Menangis dan mengomelinya. Menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan laki-laki itu. Apa dia marah? Apa dia tidak membutuhkan Fiona lagi? Apa dia tidak merindukan Fiona sama sekali?
Saat itu juga gadis itu mengerjapkan mata dan kedua matanya melebar. Ia lalu menoleh ke arah orang-orang yang menonton Adrian, dari anak kecil sampai orang tua. Lalu Ia kembali menatap Adrian yang masih memainkan gitarnya dan tenggelam dalam lagunya sendiri.
Inspirasi. Akhirnya inspirasi untuk menulis sesuatu muncul. Bukan, bukan untuk melanjutkan bukunya. Tetapi menulis sesuatu yang baru.


 


Read More

Rabu, 23 Januari 2013

Bagian Delapan Belas

Kilat yang begitu terang menyilaukan dunia untuk satu detik. Diikuti dengan suara gemuruh dari langit yang begitu dahsyat… membuatnya takut hanya untuk mengintip dari celah jari tangannya.
Satu… dua… tiga. Bagaikan suara bejana minyak yang berjatuhan silih berganti, membuat gendang telinganya berdengung. Dengan perlahan dia memberanikan diri untuk menyingkirkan tangannya dari wajah dan melihat apapun yang kini berhadapan dengannya. Asap. Panas. Menyesakkan. Dia berusaha membuka pintu mobil, tapi dengan tubuh kecil dan tangan mungil itu, ditambah paru-paru yang mulai kehabisan oksigen, dirinya tak akan mampu hanya untuk menggerakkan jari tangannya.
Dia yakin dia akan mati. Berakhir di sini, tanpa kedua orang tua di sampingnya. Bagaimana ini? Kalau memang harus mati, setidaknya dia harus mengucapkan selamat tinggal atau mencium pipi ibunya. Tapi yang duduk disebelahnya hanya suster yang mungkin, juga ada dalam keadaan yang sama. Saat kedua matanya mulai tertutup, tiba-tiba suara teriakan yang begitu nyaring terdengar begitu jelas di telinganya yang masih terasa sakit. Kedua matanya kini membelalak kaget.
Bukan. Dia bukan hanya berteriak. Dia juga menangis. Memanggil, memanggil… tidak jelas. Dia tidak bisa mendengar dengan jelas. Seakan-akan suara itu mulai tenggelam jauh, jauh ke dasar. Dan saat itulah dunia berwarna hitam.

Adrian terbangun dan tersentak dari mimpi buruknya dengan baju yang begitu basah. Dia terengah-engah, berusaha untuk menghirup oksigen sebanyak mungkin, mimpi barusan terasa begitu nyata, begitu menyesakkan. Dia yakin betul sesaat yang lalu dirinya terkunci di dalam mobil, terancam mati oleh gas beracun yang mencekik paru-parunya.
“kenapa bisa bermimpi seperti itu.” Gumamnya. Untuk sesaat Adrian merasa itu pernah terjadi padanya. Jika memang benar, kenapa dia tidak ingat sama sekali? Dia lalu menggelengkan kepalanya dengan tegas, untuk mengiyakkan dugaan itu. Tidak mungkin itu pernah terjadi di masa kecilnya. Masa kecilnya begitu indah dan menyenangkan, tak ada sama sekali memori yang mengerikan. Sampai ayahnya meninggal. Tapi mimpi barusan terasa begitu nyata, begitu jelas, Ia masih ingat setiap detik dari mimpi itu.
Adrian mendesah, lalu beranjak dari tempat tidurnya dan menghampiri meja kerjanya. Ia melirik ke arah dinding, masih jam 02:00 pagi. Apakah Fiona sudah tidur? Apa dia bisa tidur? Sebenarnya Adrian enggan meninggalkan gadis itu sendirian di apartemennya, walaupun sekarang Min Rae sudah pasti ada di sekitarnya. Tadi malam Adrian berhasil membujuk Fiona untuk menyisip teh hangat dan menyicipi sedikit dada ayam gorengannya. Dia tidak ingin meninggalkan gadis itu sampai Ia tertidur lelap, tetapi Fiona berusaha meyakinkan Adrian bahwa dia sudah jauh lebih baik, bahkan Ia beranjak dari sofa dan membuatkan Adrian kopi, juga kembali melanjutkan tulisannya. Adrian yakin Fiona hanya berpura-pura—bukan, setidaknya berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Karena bibirnya masih terlihat pucat dan Adrian yakin Ia masih berkeringat dingin. Namun melihat senyumannya yang tulus di wajah yang pucat itu, Adrian berusaha untuk tenang dan percaya pada Fiona.
Adrian mengambil ponselnya di meja dan hampir menyentuh nama Fiona di layar, namun Ia memutuskan untuk membatalkan niatnya, tidak ingin mengganggu istirahat gadis itu. Malah dia mengambil buku kecil buatannya di dalam laci dan membuka halaman yang terakhir kali dia tulis. Kini tanpa satupun foto tertera di halaman itu, Adrian memenuhinya dengan tulisannya. Setiap kalimat mengandung makna tertentu. Setiap kalimat mengalir lancar di otak Adrian dan Ia jadikan sebuah lagu. Judul yang tertera di halaman itu adalah “Finesse”. Ia lalu membalikkan halaman ke halaman sebelumnya dan menatap foto di mana gadis itu sedang membuat kopi dan menghadap ke luar jendela. Tadi malam. Entah kenapa Ia mengambil foto itu saat wajah gadis itu bukanlah wajah terbaiknya. Terlihat sakit dan pucat. Namun bukan wajahnya yang membuat Adrian mengabadikan momen itu. Mata hijaunya yang memandang dunia luar dengan tatapan menerawang dan tangannya yang mengaduk secangkir kopi dengan pelan, bibir tipisnya yang mengatup rapat mencerminkan pikirannya yang begitu jauh dari dunia nyata. Jauh dari Adrian. Ekspresi itulah yang membuat Adrian terpukau dan memutuskan untuk mengaktifkan kamera ponselnya.
Sekarang Adrian tidak bisa kembali menghampiri tempat tidurnya, kantuknya hilang, Ia berusaha untuk menutup matanya, namun percuma. Hanya dengan menutup mata untuk beberapa detik, kilasan mimpi itu menghampirinya dan membuatnya semakin tidak nyaman. Tidak pernah sekalipun Ia mempunyai mimpi seperti itu sebelumnya. Sampai tadi malam. Apa… apa mungkin ada hubungannya dengan Fiona? Tapi bagaimana mungkin? Adrian mengacak-ngacak rambutnya dan memberitahu dirinya sendiri bahwa itu semua hanyalah mimpi. Mimpi belaka yang harus dilupakan. Mungkin dia hanya merasa begitu khawatir tentang Fiona, sampai-sampai Ia bermimpi buruk tentang sesuatu yang bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan gadis itu.
Untuk mengalihkan pikirannya, Adrian kembali memutuskan untuk mengambil ponselnya dan mengirim pesan ke Fiona.
“telepon aku saat kau bangun”
 

Jam delapan pagi. Dengan perlahan Fiona menggerakkan tangannya ke atas dan menyentuh dahinya. Sudah normal. Ia akhirnya bisa menghembuskan napas lega. Saat Adrian sudah keluar dari pintu rumahnya, saat itu juga Fiona ambruk dan tidak bisa menahan kakinya yang terasa begitu lemas. Gadis itu sama sekali tidak ingin terlihat lemah di depan Adrian, Ia tidak ingin melihat raut wajah Adrian yang khawatir, karena itu sangat menyakitkan baginya. Sudah cukup trauma membuatnya runtuh, melihat ekspresi wajah Adrian yang begitu memprihatinkan sama sekali tidak membantunya. Duduk di lantai yang begitu dingin, Ia tidak bisa membedakan temperatur badan dan lingkungan di sekitarnya. Memori yang mengerikan itu kembali lagi dan pergi. Lalu kembali lagi. Datang dan pergi dalam selang beberapa menit, membuat Fiona terengah-engah, tidak bisa mengontrol detak jantungnya yang tidak karuan. Menutup dan membuka mata tidak ada bedanya sama sekali sekarang, memori itu tetap mengganggunya. Sudah lama sekali sejak dia tidak mengkonsumsi obat lagi, dan kini Ia benar-benar sangat membutuhkan obat penenang.
Ya Tuhan, tolong jangan buat aku seperti ini lagi. Pintanya dalam hati. Jangan buat aku trauma lagi.
Sekitar satu jam terduduk di lantai dan menyandarkan kepala di sisi meja makan seperti itu, Min Rae akhirnya datang dan memekik kaget. Ia berlari ke arah Fiona dan membantunya berdiri.
Fiona sangat bersyukur kepada Min Rae, tanpanya, mungkin Fiona masih tergeletak di atas lantai dingin itu sampai pagi. Dengan perlahan Fiona bangkit dari tempat tidurnya dan tepat saat itu juga bel rumahnya berbunyi. Baru saja Fiona bermaksud untuk membuka pintu, Min Rae muncul di ambang pintu kamar. “biar aku yang buka.”
Fiona kembali terduduk di tepi tempat tidurnya dan menunggu. Menunggu yang terburuk. Beberapa menit kemudian, tidak ada lagi kilatan memori yang menyerangnya. Sudah berakhir.
Sudah berakhir. Baiklah, mereka sudah puas menyakitimu Fiona. Sekali itu saja. Tidak akan terjadi lagi, lupakan. Kau akan baik-baik saja, Fiona. Ujarnya berulang kali dalam hati.
Min Rae lalu muncul, kini dengan ekspresi yang ragu. “kau punya tamu.”
“siapa?”
“aku yakin kau tidak ingin menemuinya.” Ujar Min Rae walaupun ada sedikit keraguan di suaranya.
Fiona sudah mulai menduga-duga siapa itu, namun tetap saja Ia bertanya. “ucapkan saja.”
“Lee Jae Woo.”
Fiona terdiam sesaat. Namun Ia akhirnya memutuskan untuk berhadapan dengan Jae Woo. “di mana dia?”
“di depan. Aku belum mengijinkannya untuk masuk. Kau yakin ingin bertemu dengannya dengan keadaan seperti itu?” Min Rae melirik Fiona dari atas ke bawah.
saat itu Fiona lalu menoleh ke arah cermin dan menyadari penampilannya yang sangat sangat berantakan. Walaupun wajahnya sudah tidak terlihat pucat lagi, namun rambutnya kusut di sana-sini. Begitu juga bibirnya yang terlihat kering. “aku akan cuci muka dulu. Biarkan dia berdiri di depan.” Ujarnya sambil beranjak dari tempat tidur.
“oke.”
Saat Fiona membuka pintu rumahnya, Ia bisa melihat laki-laki tinggi berambut hitam pekat itu membelakanginya. Tak lama kemudian Ia membalikkan badan dan menampilkan senyum ramahnya kepada Fiona. Gadis itu hanya membalasnya dengan senyuman tipis. “kenapa tiba-tiba?”
“sebenarnya aku juga mendapat kabar tiba-tiba.” Balas Jae Woo. “ada sesuatu yang harus aku beritahu. Sebelumnya, bukankah tidak sopan membiarkan tamu berdiri selama ini di depan rumahmu?”
Fiona hanya terdiam menatap Jae Woo dengan ragu. “baiklah. Masuk.”
Fiona membuka pintu rumahnya lebih lebar dan membiarkan Jae Woo mengikutinya masuk ke dalam rumah. “kau ingin minum apa?”
“mungkin teh buatanmu?”
tanpa berkata lagi, Fioan menghampiri dapurnya dan segera mengeluarkan cangkir tehnya. Tanpa mengalihkan pandangannya, Fiona bisa merasakan tatapan Jae Woo yang mengawasinya. Tapi Ia tidak peduli.
“kau tahu? Hanya kau yang bisa membuat teh manis yang pas.” Ungkap Jae Woo. “sudah lama aku tidak meminum teh buatanmu.”
Fiona sama sekali tidak memberikan respon terhadap perkataan Jae Woo barusan. Begitu Ia selesai membuat teh, Fiona hanya berjalan menghampiri Jae Woo dengan ekspresi wajah datar. “langsung ke intinya saja.” Ujarnya sambil memberikan secangkir teh kepada Jae Woo.
Masih dengan sikap yang tenang, Jae Woo akhirnya menjelaskan maksud kedatangannya. “aku datang ke sini sebenarnya ingin memintamu sesuatu.”
Fiona mengangkat sebelah alis. “meminta apa?”
“kau tahu kalau aku mempunyai pameran lukisan beberapa hari yang lalu. Dan pagi ini aku baru saja mendapat telepon dari panitia penyelenggara. Mereka tertarik dengan salah satu lukisanku di pameran dan memintaku untuk mengajukan satu lukisan lagi yang akan dipamerkan di museum Internasional tepatnya pada tahun baru.”
Good for you.” Balas Fiona masih dengan ekspresi sebelumnya, datar. “lalu, apa hubungannya denganku?”
Jae Woo tidak menjawab untuk beberapa saat, berusaha menimbang-nimbangkan perkataan yang Ia ingin ucapkan. “lukisan itu… dirimu.”
Kini kedua mata Fiona terbelalak. “apa?”
“lukisan yang mereka pilih. Itu adalah lukisanmu, Park Hwa Young. Lukisan disaat kau duduk di kursi putih dan menulis di atas buku dengan ekspresi wajahmu yang khas saat berkonsentrasi.” Jae Woo menghentikan perkataannya dan menyisip tehnya. Ia lalu menatap Fiona yang juga sedang memperhatikannya. “momen itu adalah momen favoritku.”
Fiona masih terdiam. Ia berusaha memutuskan apa tujuan Jae Woo saat ini. Apa maksudnya mengatakan itu semua. Apakah Jae Woo hanya bermain-main dengan perasaan Fiona sekarang? Atau memang perkataannya itu tulus? Fiona berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk membalas perkataan Jae Woo, tetapi sepertinya Ia tidak bisa menemukan jawaban yang tepat saat ini. Satu hal lagi yang membuat Fiona terdiam adalah ternyata Jae Woo juga memajang lukisan Fiona di pamerannya. Hal itu tidak pernah terpikirkan, karena Fiona yakin yang diperdulikan Jae Woo saat ini adalah kekasih sumber segala inspirasinya, Ha Ra. Fiona bingung apakah Ia harus senang atau tidak menyadari kenyataan itu. “lalu kau ingin meminta…”
“Fiona.” Jae Woo menyela.
“ya?”
“maukah kau menjadi model untuk lukisanku berikutnya?” pinta Jae Woo. “aku akan mulai melukis pada hari natal. ini akan menjadi sesuatu yang besar. Aku yakin, lukisanku kali ini akan menjadi yang terindah.”
Fiona tahu tangan Jae Woo selalu berhasil membuat lukisan yang indah. Tak peduli apapun itu objeknya, pria itu memang sudah terlahir dengan tangan seorang pelukis legendaris. Dan hal itulah yang pertama kalinya membuat jantung Fiona berdegup kencang. Tangan Jae Woo yang bergerak mulus saat Ia membuat sketsa… Ia hanya membutuhkan lima detik untuk menganalisa, dan tangannya akan mulai bergerak cepat tanpa membuat kesalahan sedikitpun. Walaupun hanya sebuah kerangka lukisan, sudah bisa diduga hasilnya akan jauh lebih dari memuaskan.
“harus aku akui,” Ujar Jae Woo membuyarkan lamunan Fiona. “panitia pameran itu memang memiliki mata yang bagus.”
“bukankah panitia pameran memang seharusnya begitu?” respon Fiona dengan tegas.
“kau benar.” Balas Jae Woo. “jadi bagaimana? Apa kau bisa membantuku, Hwa Young-ssi?”
Jae Woo yakin Fiona membutuhkan beberapa waktu untuk mempertimbangkan ini. Tetapi Ia tetap menunggu Fiona sampai gadis itu benar-benar memberikan jawabannya.
Fiona menarik napas, lalu berkata dengan jelas. “baiklah. Hari natal, lima hari lagi, bukan?”


 


“kau serius? Menjadi model lukisannya?” tanya Min Rae dengan nada tidak percaya. “jangan bilang kau berkata iya karena kau masih…”
“bukan Min Rae! Bukan!” seru Fiona sebelum temannya itu sempat menyelesaikan perkataannya. “aku hanya ingin membantunya. Lagi pula sepertinya pameran internasional itu sangat penting baginya.”
Min Rae menyipitkan kedua matanya. “kau yakin?”
“aku bisa menjaga diriku sendiri.” Balas Fiona cepat. “juga… perasaanku.”
Mendengar ucapan Fiona, akhirnya Min Rae menyerah. “baiklah. Aku hanya khawatir kau terjebak lagi, Hwa Young-ssi.
Fiona lalu tersenyum. “kau tidak perlu khawatir lagi. Hwa Young yang kau kenal dulu, kini sudah menjadi Hwa Young yang baru. Kau tahu itu, bukan?”
Fiona lalu berjalan menghampiri meja belajarnya dan mengambil ponselnya. Satu pesan masuk, dari Adrian. Setelah melihat pesan itu, Fiona bergegas menghubungi Adrian.
“kenapa?” tanya Fiona begitu teleponnya dijawab.
“kau bangun jam berapa?” tanya Adrian di ujung sana. Fiona menoleh ke arah jam weker di mejanya. “sudah satu jam yang lalu.”
“kenapa baru menelepon?”
“memangnya penting?” balas Fiona sambil mendengus. “cepatlah, ada apa menyuruhku menelepon?”
“kau sudah baikan?” tanya Adrian dengan suaranya yang berusaha dibuat tenang.
“mm. ya. Sudah jauh lebih baik.” Jawab Fiona. “kalau kau tidak percaya, kau bisa datang ke rumahku.”
“ke apartemenmu.” Ujar Adrian mengoreksi. “baguslah kalau begitu. Dengarkan dengan baik. Kau, hari Natal, sungai Hangang.”
Fiona mengerjapkan mata dengan bingung. “hah?”
Adrian hanya terdengar tertawa rendah. “aku ingin kau pada hari Natal di sungai Hangang.”
Aku ingin kau? Kalimat itu membuat Fiona kaget dan pipinya mulai terasa panas. “maksudmu? Bicara yang jelas!”
“Fiona Scarlett, aku ingin kau datang ke Sungai Hangang pada hari Natal dan bertemu aku di sana. Sudah mengerti?”
seulas senyuman tersungging di bibir Fiona. Namun Ia ingat akan sesuatu. “hari Natal… aku sudah ada janji. Tapi aku rasa aku bisa datang.”
“janji?” Adrian terdiam sesaat, namun Ia mulai penasaran. “janji dengan siapa?”
Fiona menjawab dengan sederhana, “aku sudah janji dengan Jae Woo, aku akan datang ke studionya. Dia membutuhkan… sedikit bantuanku.” Sekitar tiga detik Adrian tidak mengatakan apapun, Fiona yakin sambungan teleponnya sudah terputus. “halo? Adrian?”
“oh, ya?” jawab Adrian seakan-akan Ia baru saja tersadar dari lamunannya. “terserah kau saja. Tidak datang juga tidak masalah. Tapi aku akan tetap menunggu. Sampai nanti, Fiona-ssi.
“Adrian…” belum sempat Fiona berkata lebih jauh, Adrian sudah menutup ponselnya. Saat itu Fiona tidak mengerti situasinya. Tepatnya di mana, posisinya berada saat ini. Semuanya terasa begitu aneh dan mengganjal. Dia benci saat-saat seperti ini, di mana dia harus lebih mengikuti intuisinya dibandingkan logikanya. Di mana Ia harus mengikuti ke mana perasaannya menuntunnya, bukan apa yang dikatakan pikirannya.




Adrian menjatuhkan tangannya dengan lemah, masih menggenggam ponselnya dengan erat. Ia lalu menyandarkan kepalanya di tembok dan mendesah panjang. Seulas senyuman tipis dan pasrah menghiasi wajahnya yang berwarna cerah. “seperti dugaanku. Mungkin memang akan terus begini.” Ia lalu berusaha melebarkan senyumannya, walau sulit. “She still not forget.
Read More
2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.

© Sunny In Winter, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena