"Asal kau berada disampingku, di mana saja terasa hangat. terlihat terang. semuanya begitu jelas."

Kamis, 19 Juli 2012

Bagian Sebelas


Gadis itu masih terduduk di bawah pohon di halaman universitas Kyung Hee sejak sejam yang lalu. Walaupun laptopnya terbuka dan menyala terang, pandangannya sama sekali tidak terpusat pada layar laptop. Ia mendesah untuk kesekian kalinya. Seharusnya sejauh ini tulisannya sudah selesai tiga halaman lebih, tetapi dua halaman pun belum terlewati. Ia lalu mengacak rambutnya pelan dengan sebelah tangan.
“Fiona… konsentrasi… fokus.” Gumamnya pada diri sendiri sambil menggerakkan kedua tangannya sejajar dengan mata untuk memfokuskan pandangan ke laptop.
“Aaa percuma!”
Fiona lalu menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang. “kenapa dia tidak pernah bilang… Song Mi Na… kenapa dia… bagaimana bisa?”
Ia lalu mengusap keningnya dengan sebelah tangan dan menutup laptopnya, tepat saat Ia mengangkat kepala, laki-laki berambut hitam itu berdiri dan tersenyum manis di hadapannya.
Fiona mengernyitkan alis. “mau apa lagi kau?” tanyanya dengan nada tak bersahabat.
Laki-laki itu tidak menghiraukannya, Ia justru masih tersenyum dengan manis. “ternyata kau masih marah.”
“kau kira dengan waktu semuanya akan kembali normal?”
Fiona lalu mengalihkan pandangannya tak acuh.
Laki-laki itu terdiam sesaat dan menghela napas pelan. Ia tahu dirinya pantas untuk menerima perlakuan seperti itu dari Fiona. Ia memaklumi itu.
“kenapa kau melamun di sini?” tanyanya setelah jeda beberapa saat.
Fiona lalu kembali menatap laki-laki itu dengan mata tajam, berharap nyali lawan bicaranya itu menciut. “aku tidak melamun.” Balasnya tegas. “kalau memang tidak ada hal yang penting, lebih baik kau pergi, Lee Jae Woo.”
Lee Jae Woo masih tersenyum seperti sebelumnya. Fiona menatap laki-laki itu dengan heran. Apa dia tuli?
“kau tidak dengar perkataanku barusan?” tanya Fiona dengan nada kesal.
“aku dengar dan aku tahu kau mengusirku.” Jawab Jae Woo dengan tenang.
“lalu?”
“aku hanya berusaha untuk bicara baik-baik denganmu.”
Fiona terdiam. Ia mendesah pelan. Mungkin tadi dirinya memang terlalu kasar. Ia lalu memperbaiki posisi duduknya dan memutuskan untuk mendengarkan Jae Woo. “apa yang ingin kau bicarakan?”
Senyuman lega kemudian terlihat di wajah Jae Woo yang putih itu. “sebenarnya tadi aku hanya melihatmu dari kejauhan.”
“kalau memang tidak ada yang…”
“aku ingin mengingatkanmu.” sela Jae Woo. “tentang malam kesenian universitas Kyung Hee minggu depan.”
Fiona mengangkat sebelah alis. Ia baru ingat tentang malam kesenian universitas Kyung Hee yang diadakan setiap tahunnya. Di malam itu, bukan hanya seluruh mahasiswa dan mahasiswi universitas yang menghadiri pesta, tetapi juga para alumni yang merupakan artis dan aktor papan atas. Bahkan artis dan aktor terkenal yang bukan alumni Kyung Hee juga diundang. Malam kesenian itu bisa dikatakan perayaan terbesar yang pernah diadakan oleh universitas Kyung Hee.
“Jangan lupa untuk datang.” Tambah Jae Woo. “apa kau sudah bersiap-siap untuk malam itu?”
Fiona terdiam sejenak. Bagaimana Ia sempat bersiap-siap kalau pikirannya sendiri sedang kacau? Menyelesaikan tulisan tiga halaman saja tiba-tiba jadi menyusahkan. Fiona lalu mendecakkan lidah, sadar akan situasinya yang memang sedang tidak jelas.
“entahlah. Lihat saja nanti.” Jawab Fiona tak acuh. Ia lalu menatap laki-laki itu yang masih terdiam berdiri di depannya.
“apa lagi?”
Jae Woo terlihat ragu, namun akhirnya Ia berkata, “apa kau masih sering bertemu dengan artis Inggris itu?”
“tidak ada urusannya denganmu.” balas Fiona cepat.
Jae Woo yang melihat reaksi Fiona hanya tersenyum samar. Iya, laki-laki itu berusaha untuk sabar, karena sekali lagi, Ia mengingatkan dirinya bahwa Ia pantas diperlakukan seperti itu oleh Fiona.
“Hwa Young-ssi.” ujar Jae Woo pelan. “aku tahu kau masih sangat marah padaku. Aku tahu aku sudah membuat kesalahan yang begitu besar. Aku bahkan heran kenapa kau tidak memukul atau mencaci makiku saat itu.”
Fiona lalu menatap wajah Jae Woo. Terpancar kesedihan dan rasa tulus dari tatapannya itu.
Jae Woo lalu menghela napas dan menatap mata Fiona lurus-lurus. “aku masih peduli padamu.”
Fiona mengerjapkan matanya. Ia berharap apa yang didengarnya barusan salah. Apa yang Jae Woo maksud dengan perkataannya barusan?
Fiona lalu mengalihkan pandangannya dari wajah Jae Woo dengan cepat. “aku tahu. Terima kasih.” Balasnya. Ia lalu berusaha mengalihkan percakapan yang baginya sudah mulai tidak jelas arahnya.
“bagaimana kabar Ha Ra?”
Jae Woo terlihat sedikit terkejut. Fiona tahu, Jae Woo pasti merasa pertanyaannya barusan sangat aneh. Bagaimana mungkin Fiona bisa peduli dengan gadis yang sudah merebut kekasihnya itu? Karena Fiona tidak bisa memikirkan hal lain, pertanyaan bodoh itu pun keluar begitu saja.
Jae Woo lalu tersenyum samar. “Ha Ra… ya, aku rasa dia baik-baik saja.”
Fiona menoleh, kali ini dengan tatapan yang heran. Dengan rasa ragu, Fiona akhirnya bertanya, “kau… baik-baik saja dengannya?”
Jae Woo mengangkat bahu dan tersenyum. “mungkin begitu. Entahlah.”
Fiona lalu menyipitkan kedua matanya. Rasa kesal terbit dari dalam hatinya. Apakah Jae Woo sedang tidak akur dengan pacar barunya itu? Lalu dia mencari Fiona sebagai pelarian. Tidak, Fiona tidak ingin semuanya terulang lagi. Ia lalu teringat akan Adrian yang selalu mengajarinya untuk melupakan masa lalu dan jangan terlihat lemah di hadapan laki-laki. Iya, kali ini Ia tidak akan membuat kesalahan yang sama.
“dan sekarang kau mencariku. Begitu?” kata Fiona dengan nada yang datar.
Alis Jae Woo terangkat. “maksudmu?”
“kau hanya akan mencariku saat kau mempunyai masalah dengan Ha Ra. Itukah rencanamu?”
Jae Woo terlihat terkejut. Ia segera menggelengkan kepalanya dengan tegas. “aku tidak akan pernah melakukan itu padamu. Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?”
“apakah aku bisa mempercayaimu lagi?” tanya Fiona, nadanya lebih terdengar seperti sebuah pernyataan.
“Hwa Young-ssi, aku…”
“sudahlah Jae Woo, tinggalkan aku sendiri.” sela Fiona sambil menyandarkan kepala di atas lututnya. “aku sedang tidak ingin berbicara banyak.”
Jae Woo tidak menjawab tetapi Ia juga tidak meninggalkan Fiona. Ia terdiam beberapa saat memandangi gadis yang sama sekali tidak menghiraukannya itu. Sepertinya Fiona benar-benar sudah menutup hatinya. Perubahan di dalam dirinya begitu pesat. Fiona yang dulu selalu mengalah dan bersikap seperti gadis lugu di depan mata Jae Woo, kini telah menjadi seorang gadis yang lebih kuat dan tidak mudah membuka hati untuk siapapun. Senyuman kecil tersungging di bibir Jae Woo. Di satu sisi Ia senang melihat Fiona yang kini sudah menjadi seorang gadis yang tegar. Namun di sisi lainnya, Ia merindukan seorang Park Hwa Young, gadis yang selalu tersenyum dan terlihat ceria di depan Jae Woo walaupun dirinya sudah sering dikecewakan oleh laki-laki itu.
“Baiklah kalau begitu, sampai ketemu lagi, Hwa Young-ssi.” ujar Jae Woo sambil berjalan pelan meninggalkan Fiona.
Gadis itu tidak menoleh. Ia tetap menyandarkan kepalanya di atas kedua lutut. Ia lalu menutup mata dan berusaha menenangkan pikirannya dengan menghirup udara dingin di siang itu.
Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki datang menghampirinya. Fiona sama sekali tidak peduli, Ia tetap menutup matanya dan berharap dalam hati agar siapapun yang datang tidak mengajaknya berbicara.
“apa kau tidak ada kerjaan lain selain melamun di bawah pohon?”
Fiona lalu membuka matanya dan dengan perasaan dongkol, Ia menjawab, “aku tidak melamun!”
Ia lalu memutar badannya dengan cepat, bermaksud untuk meneriaki orang yang mengganggu ketenangannya.
“kau siapa la…”
Perkataan Fiona terhenti begitu melihat laki-laki tinggi berambut cokelat pirang yang tersenyum hangat dihadapannya.
“kau tahu, kau terlihat jelek kalau sedang marah-marah.” Ujarnya dengan nada bergurau.
“terserah! Aku tidak mau dengar!” balas Fiona sambil menutup kedua telinganya.
Fiona lalu kembali ke posisi semulanya. Apa Adrian tidak tahu kalau Ia sedang merasa begitu kesal dengannya?


Sejak kemarin Adrian sudah mencoba menghubungi Fiona tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Adrian mempunyai firasat kalau gadis itu pasti salah paham tentang kejadian kecil kemarin di butik. Gadis itu pasti sekarang sedang bertanya-tanya kenapa Adrian tidak pernah memberitahunya soal perjodohan tiba-tibanya dengan Song Mi Na. Adrian yakin Fiona pasti mengira bahwa dirinya sedang menyembunyikan sesuatu. Ia harus menjelaskan semuanya secepatnya.
Seharian ini Ia sudah berusaha mencari Fiona, ke apartemennya, ke perpustakaan, kafe langganannya, tetapi batang hidung gadis itu tidak terlihat. Sampai Adrian memutuskan untuk menelepon Min Rae dan menanyakan keberadaan Fiona yang katanya sedang duduk di bawah pohon di sekitar halaman kampus. Adrian segera bergegas ke halaman kampus dan saat hendak menghampiri gadis yang sudah dicari-carinya, langkahnya terhenti karena ada seseorang yang lebih dulu menghampirinya. Adrian menyipitkan matanya dan memperhatikan laki-laki itu dari kejauhan. Tatapannya terpaku begitu menyadari siapa laki-laki yang sedang berbicara dengan Fiona. Lee Jae Woo.
Apalagi yang diinginkan laki-laki itu?
Ujar Adrian dalam hati. Ia lalu memutuskan untuk bersandar dan mengintip dari balik pohon. Sayangnya, Ia tidak bisa mendengarkan apapun yang sedang dibicarakan dua orang itu karena terlalu jauh. Adrian mulai merasa penasaran dan bertanya-tanya dalam hati, kenapa Jae Woo tiba-tiba mencari Fiona? Mau apa dia? Apa yang mereka bicarakan? Apakah Fiona akan mendengarkannya lagi? Semoga tidak…
Untuk beberapa menit Jae Woo masih berdiri di sana menatap Fiona. dan Adrian masih bersandar di balik pohon, diserang oleh begitu banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul sendiri di dalam otaknya. Adrian tidak pernah melepaskan tatapannya dari kedua orang itu. Ia terus memperhatikan Jae Woo yang sedang berbicara, Adrian berusaha menebak-nebak perkataan laki-laki itu dari tatapan matanya pada Fiona dan juga gerak-geriknya.
Tetapi ketika Ia melihat ke arah Fiona, kenapa gadis itu menatap Jae Woo seperti itu? Kenapa tatapannya terlihat dalam begitu? Sesaat kemudian, Adrian merasa jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Ia merasa was-was, ada sebersit rasa takut yang muncul di dalam hatinya ketika melihat tatapan Fiona yang dalam itu kepada Jae Woo.
Cepat pergi, cepat.
Adrian berharap dalam hati. Beberapa saat kemudian, Jae Woo berjalan meninggalkan Fiona dan perasaan lega segera menjalar di seluruh tubuh Adrian.
Ia lalu melangkahkan kaki dengan pelan menuju Fiona, berusaha agar gadis itu tidak menyadari keberadaannya. Adrian tersenyum ketika melihat Fiona yang sepertinya sedang tenggelam sendiri dalam pikirannya sambil menyandarkan kepalanya di atas lutut.
“apa kau tidak ada kerjaan lain selain melamun di bawah pohon?”
Gadis itu tidak menjawab untuk beberapa saat. Namun kemudian suaranya terdengar sangat kesal. “aku tidak melamun!”
Adrian sedikit terkesiap begitu mendengar reaksi Fiona. Tapi kemudian senyumnya melebar, gadis itu memang selalu terlihat manis saat sedang marah. Adrian suka itu.
“kau siapa la…”
Perkataan Fiona terhenti begitu menyadari sosok Adrian. Laki-laki itu tetap memperlihatkan kedua lesung pipitnya, bahkan ketika wajah Fiona terlihat makin kesal.
“kau tahu, kau terlihat jelek kalau sedang marah-marah.” Gurau Adrian.
Fiona lalu menutup kedua telinganya. “terserah! Aku tidak mau dengar!”
Ia kembali ke posisi semulanya. Sepertinya dia memang sedang sangat kesal. Apa lagi yang membuatnya seperti ini?
Adrian kemudian berjalan mendekati Fiona dan duduk bersila dengan posisi menghadap Fiona.
“Hey…” gumam Adrian sambil menggoyang pelan bahu Fiona.
“Fiona-ssi.
Fiona masih tidak menoleh. Ia masih bersikukuh menahan posisinya yang menatap ke arah lain. Yang penting hari ini dia tidak mau melihat wajah Adrian, titik.
“kenapa kau manja sekali?” keluh Adrian. Sebenarnya Ia hanya berusaha terdengar mengeluh, walau pada kenyataanya Adrian menyukai pribadi Fiona yang bersikap seperti anak kecil kalau sedang kesal.
“apa Jae Woo sudah membuatmu kesal lagi?”
Pertanyaan Adrian barusan membuat Fiona terkesiap. Jadi Adrian sudah melihat Jae Woo yang berbicara dengannya tadi? Salah! Fiona kesal bukan karena Jae Woo. Ia sudah merasa tidak terlalu peduli lagi dengan laki-laki pelukis itu. Untuk apa mengharapkannya lagi?
Fiona lalu menoleh ke arah Adrian dengan cepat. “apa menurutmu aku selalu kesal hanya karena Lee Jae Woo??” tanya Fiona msih dengan nada kesal yang sama.
“Baiklah, itu berarti karena aku.” Kata Adrian dengan santai.
Fiona mengerjapkan matanya.
“Lihat? jawabanku tepat lagi. Kau barusan mengerjapkan matamu.”
Fiona lalu menunduk malu. Apakah dia semudah itu untuk ditebak? Ia yakin teman-temannya tidak semudah itu memprediksi sikap dan pikirannya. Bahkan Min Rae pernah bilang kalau Fiona merupakan gadis yang rumit. Tetapi kenapa Adrian—orang yang termasuk baru dikenalnya—sangat mudah menebaknya?
Tanpa menunggu jawaban Fiona, Adrian mulai menjelaskan. “Kemarin aku memang sibuk, ya walaupun aku memang seharusnya sibuk. Aku sama sekali tidak tahu soal rencana pertemuanku dengan Mi Na sebelumnya.”
Fiona hanya diam dan menunggu Adrian untuk melanjutkan.
“Ibuku menelepon dari Inggris kemarin. Dan tiba-tiba saja mengabariku soal pertemuan dengan putri teman dekatnya dulu di Korea. Dan ternyata putrinya itu adalah Song Mi Na.”
Fiona melirik ke arah Adrian yang masih menjelaskan sambil menatap ke arah lapangan yang membentang luas. Ternyata dia memang belum tau sebelumnya, pikir Fiona.
Adrian lalu menoleh dan Fiona segera mengalihkan pandangannya saat itu juga.
“kalau aku tahu jadwal rekamanku akan ditunda kemarin, aku pasti sudah memintamu untuk membawakan kimchi. Tapi permintaan ibuku itu harus dituruti. Kalau tidak, semuanya bisa bubar.” Ujarnya sambil tersenyum samar.
Fiona terdiam untuk beberapa saat. Ia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Namun rasa penasarannya mulai terbit. “lalu bagaimana makan siangmu kemarin?”
Fiona mengutuk dirinya dalam hati. Bodoh! Kenapa menanyakan hal yang tidak ingin diketahuinya?
“Mi Na merupakan teman bicara yang menyenangkan. Dia tidak pernah kehabisan bahan obrolan.”
“lalu?”
Adrian tidak menjawab sesaat, Ia berpikir, kemudian menambahkan, “gadis periang, lucu dan juga punya wajah yang cantik.”
Fiona lalu mendapati dirinya meremas lengan bajunya. “kau menyukainya?” tanyanya, tidak bisa menahan diri.
Adrian kemudian tersenyum tipis dan mengangkat bahu. “ya, sepertinya.”
Fiona kemudian berhenti bernapas sejenak. Genggaman di lengan bajunya semakin erat.
“tapi aneh.” Tambah Adrian.
Fiona lalu melirik ke arah Adrian. “apa?”
“aku merasa tidak tertarik dengan semua itu.” Ujar Adrian, terlebih kepada dirinya sendiri. “aku merasa… ada yang lebih penting daripada semua itu.”
Fiona mengerutkan keningnya, tidak paham dengan perkataan Adrian barusan.
Laki-laki itu lalu menatap ke arah Fiona dan tersenyum. “mungkin karena aku sudah sering dikelilingi gadis-gadis cantik dan menyenangkan di London.”
Mata Fiona yang tadinya menatap Adrian dengan tatapan serius kini melebar, Ia lalu mendengus.
“apa? Bukankah itu memang kenyataan?” tanya Adrian setelah melihat reaksi Fiona.
Fiona tidak menjawab. Memang, itu kenyataan. Tadi awalnya gadis itu mengira Adrian sedang berbicara serius, tapi sepertinya Ia hanya bercanda tidak jelas dan memuji diri sendiri seperti biasa.
Fiona lalu memandang Adrian untuk sesaat dan segera mengalihkan pandangannya tak acuh. Laki-laki itu hanya tersenyum kecil melihat tingkah laku Fiona.
“apa kau sedang sibuk?”
“kenapa?”
“bisa mengantarkanku ke suatu tempat?”
Fiona tidak menjawab, Ia lalu meraih laptop di depannya dengan cepat. “aku sibuk.”
Adrian melirik gerak-geriknya dan mulai bergumam tidak jelas. “apa kau hanya pura-pura…”
“aku memang sibuk! Apa kau tidak lihat aku sedang mengetik?” sela Fiona sambil membuka kembali laptopnya dan berusaha untuk konsentrasi. Ia sedang tidak ingin pergi ke mana-mana, apalagi bersama Adrian. Ia masih merasa kesal.
Adrian lalu menghela napas dan memandang ke depan. “sebenarnya aku tidak tahu banyak toko di Seoul. Aku sendiri jarang jalan-jalan. Apa kau tahu toko seni di sekitar sini?”
Fiona lalu menoleh dengan sebelah alis terangkat. “toko seni? Untuk apa?”
“jawab saja kalau ada di sekitar sini.” sahut Adrian. “kau bilang tidak bisa mengantarku. Untuk apa aku memberitahumu?”
“kalau begitu aku tidak bisa membantu.” balas Fiona tak peduli, lalu kembali memusatkan pandangannya ke layar laptop.
Beberapa saat kemudian, Fiona terkesiap, sadar pergelangan tangannya tiba-tiba digenggam oleh Adrian.
“aku tahu kau tidak sibuk.” Ucap Adrian lembut. “bisa antarkan aku?”
Fiona menatap mata cokelat gelap yang menatapnya itu dengan hangat. Dalam hati Ia terus bertanya, kenapa laki-laki ini bisa tahu semuanya begitu saja? Dan kenapa tatapannya kepada Fiona selalu menghipnotis seperti itu?
Fiona lalu mendesah pelan, dan mengalah. “baiklah.”
Senyum Adrian melebar. Ia tahu Fiona pasti akan merubah pikirannya.
Fiona lalu membereskan barangnya dan berdiri. “di sekitar sini ada toko seni yang menjual hampir semua perlengkapannya. Ngomong-ngomong, kau mau membuat sesuatu?”


“untuk apa kertas sebanyak itu?” tanya Fiona sambil melirik kantung belanja yang berisikan kertas-kertas daun daur ulang, gulungan pita cokelat kecil, hiasan akar tumbuhan dan kertas hvs polos.
“sepertinya kau ingin membuat sesuatu yang bertema alami.” tambah Fiona.
Adrian masih memperhatikan isi kantung dan memeriksa belanjaannya. “ya, bisa dikatakan seperti itu.”
Fiona lalu menatap laki-laki itu dengan penuh penasaran. “kau mau buat apa?” tanyanya dengan nada bersemangat.
“aku merasa bosan di apartemen kalau sedang tidak ada jadwal apapun. Jadi kalau tidak jalan-jalan, aku ingin membuat sesuatu yang unik.” Ucap Adrian, seakan-akan artis terkenal sepertinya kurang kerjaan.
Fiona menatapnya heran. “kau artis terkenal. Mana mungkin pernah punya jadwal kosong?”
Adrian lalu menoleh sambil tersenyum kecil. “kau tidak percaya?”
“rasanya sulit dipercaya.”
“kau tidak tahu semua hal dibalik kehidupan artis.”
Fiona masih menatap Adrian dengan alis terangkat. Tidak terlalu mengerti apa yang dibicarakan laki-laki itu.
“oh ya, aku hampir lupa memberitahumu.” Langkah Adrian terhenti dan Ia mengambil sesuatu dari dalam saku jeans putihnya.
Ia lalu menyodorkan secarik kertas kecil kepada Fiona. “aku sudah pindah apartemen. Ya, tepatnya rumah. Ini adalah rumah ibuku.”
Fiona lalu membaca alamat rumah yang tertera di atas kertas. “kau pindah? Tidak merasa nyaman dengan yang dulu?”
Adrian menggelengkan kepala sambil tersenyum. “bukan. Apartemen sebelumnya sudah sangat nyaman. Hanya saja aku berencana untuk tinggal lebih lama di Seoul daripada yang direncanakan. Jadi aku ingin mencari tempat tinggal tetap.”
Fiona lalu menatap Adrian dan terdiam sesaat. Mereka saling bertatapan untuk beberapa detik.
“tinggal lebih lama?”
Adrian mengangguk pelan. “mm. aku rasa aku akan menetap di sini.”
“kenapa?”
“terlalu indah untuk ditinggalkan.”
Fiona sedikit tercengang mendengar perkataan Adrian barusan. Ia masih belum memahami jawaban itu, tapi ada yang berbeda dari cara Adrian menatapnya sekarang. Sesuatu yang Fiona tidak bisa tebak. Sesuatu yang hanya Adrian tahu.
Karena tenggelam dalam pikirannya sendiri, Ia tidak sadar tangan Adrian sudah menyentuh kepalanya. Ia menahan napas sejenak.
“aku pergi dulu. Terima kasih sudah mengantarkanku ke sini.” Kata Adrian sambil mengacak rambut Fiona pelan. “aku akan meneleponmu nanti.”
Sebelum beranjak pergi, Ia tersenyum hangat kepada Fiona seperti biasanya. Gadis itu hanya mengangguk pelan dan tak mengatakan sepatah kata. Ia memandangi laki-laki itu dari belakang, cara berjalannya yang tegak, tangannya yang menyisir pelan rambut cokelat pirangnya dan wajahnya yang terlihat jelas dan tampan walaupun hanya dilihat dari samping.
Fiona lalu menghembuskan napas dan tersenyum lega. Sepertinya suasana hatinya sudah membaik.


0 Comments:

Posting Komentar

2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.

© Sunny In Winter, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena