Kamis, 19 Juli 2012
Bagian Sebelas
Gadis itu
masih terduduk di bawah pohon di halaman universitas Kyung Hee sejak sejam yang
lalu. Walaupun laptopnya terbuka dan menyala terang, pandangannya sama sekali
tidak terpusat pada layar laptop. Ia mendesah untuk kesekian kalinya.
Seharusnya sejauh ini tulisannya sudah selesai tiga halaman lebih, tetapi dua
halaman pun belum terlewati. Ia lalu mengacak rambutnya pelan dengan sebelah
tangan.
“Fiona… konsentrasi… fokus.”
Gumamnya pada diri sendiri sambil menggerakkan kedua tangannya sejajar dengan mata
untuk memfokuskan pandangan ke laptop.
“Aaa percuma!”
Fiona lalu menundukkan kepalanya
dan menghela napas panjang. “kenapa dia tidak pernah bilang… Song Mi Na… kenapa
dia… bagaimana bisa?”
Ia lalu mengusap keningnya dengan
sebelah tangan dan menutup laptopnya, tepat saat Ia mengangkat kepala,
laki-laki berambut hitam itu berdiri dan tersenyum manis di hadapannya.
Fiona mengernyitkan alis. “mau
apa lagi kau?” tanyanya dengan nada tak bersahabat.
Laki-laki itu tidak
menghiraukannya, Ia justru masih tersenyum dengan manis. “ternyata kau masih
marah.”
“kau kira dengan waktu semuanya
akan kembali normal?”
Fiona lalu mengalihkan
pandangannya tak acuh.
Laki-laki itu terdiam sesaat dan
menghela napas pelan. Ia tahu dirinya pantas untuk menerima perlakuan seperti
itu dari Fiona. Ia memaklumi itu.
“kenapa kau melamun di sini?”
tanyanya setelah jeda beberapa saat.
Fiona lalu kembali menatap
laki-laki itu dengan mata tajam, berharap nyali lawan bicaranya itu menciut.
“aku tidak melamun.” Balasnya tegas. “kalau memang tidak ada hal yang penting,
lebih baik kau pergi, Lee Jae Woo.”
Lee Jae Woo masih tersenyum
seperti sebelumnya. Fiona menatap laki-laki itu dengan heran. Apa dia tuli?
“kau tidak dengar perkataanku
barusan?” tanya Fiona dengan nada kesal.
“aku dengar dan aku tahu kau
mengusirku.” Jawab Jae Woo dengan tenang.
“lalu?”
“aku hanya berusaha untuk bicara baik-baik
denganmu.”
Fiona terdiam. Ia mendesah pelan.
Mungkin tadi dirinya memang terlalu kasar. Ia lalu memperbaiki posisi duduknya
dan memutuskan untuk mendengarkan Jae Woo. “apa yang ingin kau bicarakan?”
Senyuman lega kemudian terlihat
di wajah Jae Woo yang putih itu. “sebenarnya tadi aku hanya melihatmu dari
kejauhan.”
“kalau memang tidak ada yang…”
“aku ingin mengingatkanmu.” sela
Jae Woo. “tentang malam kesenian universitas Kyung Hee minggu depan.”
Fiona mengangkat sebelah alis. Ia
baru ingat tentang malam kesenian universitas Kyung Hee yang diadakan setiap
tahunnya. Di malam itu, bukan hanya seluruh mahasiswa dan mahasiswi universitas
yang menghadiri pesta, tetapi juga para alumni yang merupakan artis dan aktor
papan atas. Bahkan artis dan aktor terkenal yang bukan alumni Kyung Hee juga
diundang. Malam kesenian itu bisa dikatakan perayaan terbesar yang pernah
diadakan oleh universitas Kyung Hee.
“Jangan lupa untuk datang.” Tambah
Jae Woo. “apa kau sudah bersiap-siap untuk malam itu?”
Fiona terdiam sejenak. Bagaimana
Ia sempat bersiap-siap kalau pikirannya sendiri sedang kacau? Menyelesaikan
tulisan tiga halaman saja tiba-tiba jadi menyusahkan. Fiona lalu mendecakkan
lidah, sadar akan situasinya yang memang sedang tidak jelas.
“entahlah. Lihat saja nanti.”
Jawab Fiona tak acuh. Ia lalu menatap laki-laki itu yang masih terdiam berdiri
di depannya.
“apa lagi?”
Jae Woo terlihat ragu, namun
akhirnya Ia berkata, “apa kau masih sering bertemu dengan artis Inggris itu?”
“tidak ada urusannya denganmu.” balas
Fiona cepat.
Jae Woo yang melihat reaksi Fiona
hanya tersenyum samar. Iya, laki-laki itu berusaha untuk sabar, karena sekali
lagi, Ia mengingatkan dirinya bahwa Ia pantas diperlakukan seperti itu oleh
Fiona.
“Hwa Young-ssi.” ujar Jae Woo pelan. “aku tahu kau masih sangat marah padaku.
Aku tahu aku sudah membuat kesalahan yang begitu besar. Aku bahkan heran kenapa
kau tidak memukul atau mencaci makiku saat itu.”
Fiona lalu menatap wajah Jae Woo.
Terpancar kesedihan dan rasa tulus dari tatapannya itu.
Jae Woo lalu menghela napas dan
menatap mata Fiona lurus-lurus. “aku masih peduli padamu.”
Fiona mengerjapkan matanya. Ia
berharap apa yang didengarnya barusan salah. Apa yang Jae Woo maksud dengan perkataannya
barusan?
Fiona lalu mengalihkan
pandangannya dari wajah Jae Woo dengan cepat. “aku tahu. Terima kasih.”
Balasnya. Ia lalu berusaha mengalihkan percakapan yang baginya sudah mulai
tidak jelas arahnya.
“bagaimana kabar Ha Ra?”
Jae Woo terlihat sedikit
terkejut. Fiona tahu, Jae Woo pasti merasa pertanyaannya barusan sangat aneh.
Bagaimana mungkin Fiona bisa peduli dengan gadis yang sudah merebut kekasihnya
itu? Karena Fiona tidak bisa memikirkan hal lain, pertanyaan bodoh itu pun keluar
begitu saja.
Jae Woo lalu tersenyum samar. “Ha
Ra… ya, aku rasa dia baik-baik saja.”
Fiona menoleh, kali ini dengan
tatapan yang heran. Dengan rasa ragu, Fiona akhirnya bertanya, “kau… baik-baik
saja dengannya?”
Jae Woo mengangkat bahu dan
tersenyum. “mungkin begitu. Entahlah.”
Fiona lalu menyipitkan kedua matanya.
Rasa kesal terbit dari dalam hatinya. Apakah Jae Woo sedang tidak akur dengan
pacar barunya itu? Lalu dia mencari Fiona sebagai pelarian. Tidak, Fiona tidak
ingin semuanya terulang lagi. Ia lalu teringat akan Adrian yang selalu mengajarinya
untuk melupakan masa lalu dan jangan terlihat lemah di hadapan laki-laki. Iya,
kali ini Ia tidak akan membuat kesalahan yang sama.
“dan sekarang kau mencariku.
Begitu?” kata Fiona dengan nada yang datar.
Alis Jae Woo terangkat.
“maksudmu?”
“kau hanya akan mencariku saat
kau mempunyai masalah dengan Ha Ra. Itukah rencanamu?”
Jae Woo terlihat terkejut. Ia
segera menggelengkan kepalanya dengan tegas. “aku tidak akan pernah melakukan
itu padamu. Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?”
“apakah aku bisa mempercayaimu
lagi?” tanya Fiona, nadanya lebih terdengar seperti sebuah pernyataan.
“Hwa Young-ssi, aku…”
“sudahlah Jae Woo, tinggalkan aku
sendiri.” sela Fiona sambil menyandarkan kepala di atas lututnya. “aku sedang
tidak ingin berbicara banyak.”
Jae Woo tidak menjawab tetapi Ia
juga tidak meninggalkan Fiona. Ia terdiam beberapa saat memandangi gadis yang
sama sekali tidak menghiraukannya itu. Sepertinya Fiona benar-benar sudah
menutup hatinya. Perubahan di dalam dirinya begitu pesat. Fiona yang dulu
selalu mengalah dan bersikap seperti gadis lugu di depan mata Jae Woo, kini
telah menjadi seorang gadis yang lebih kuat dan tidak mudah membuka hati untuk
siapapun. Senyuman kecil tersungging di bibir Jae Woo. Di satu sisi Ia senang
melihat Fiona yang kini sudah menjadi seorang gadis yang tegar. Namun di sisi
lainnya, Ia merindukan seorang Park Hwa Young, gadis yang selalu tersenyum dan
terlihat ceria di depan Jae Woo walaupun dirinya sudah sering dikecewakan oleh
laki-laki itu.
“Baiklah kalau begitu, sampai
ketemu lagi, Hwa Young-ssi.” ujar Jae
Woo sambil berjalan pelan meninggalkan Fiona.
Gadis itu tidak menoleh. Ia tetap
menyandarkan kepalanya di atas kedua lutut. Ia lalu menutup mata dan berusaha
menenangkan pikirannya dengan menghirup udara dingin di siang itu.
Tak lama kemudian, terdengar
suara langkah kaki datang menghampirinya. Fiona sama sekali tidak peduli, Ia
tetap menutup matanya dan berharap dalam hati agar siapapun yang datang tidak
mengajaknya berbicara.
“apa kau tidak ada kerjaan lain
selain melamun di bawah pohon?”
Fiona lalu membuka matanya dan
dengan perasaan dongkol, Ia menjawab, “aku tidak melamun!”
Ia lalu memutar badannya dengan
cepat, bermaksud untuk meneriaki orang yang mengganggu ketenangannya.
“kau siapa la…”
Perkataan Fiona terhenti begitu
melihat laki-laki tinggi berambut cokelat pirang yang tersenyum hangat
dihadapannya.
“kau tahu, kau terlihat jelek
kalau sedang marah-marah.” Ujarnya dengan nada bergurau.
“terserah! Aku tidak mau dengar!”
balas Fiona sambil menutup kedua telinganya.
Fiona lalu kembali ke posisi
semulanya. Apa Adrian tidak tahu kalau Ia sedang merasa begitu kesal dengannya?
Sejak kemarin Adrian sudah mencoba
menghubungi Fiona tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Adrian mempunyai
firasat kalau gadis itu pasti salah paham tentang kejadian kecil kemarin di
butik. Gadis itu pasti sekarang sedang bertanya-tanya kenapa Adrian tidak
pernah memberitahunya soal perjodohan tiba-tibanya dengan Song Mi Na. Adrian
yakin Fiona pasti mengira bahwa dirinya sedang menyembunyikan sesuatu. Ia harus
menjelaskan semuanya secepatnya.
Seharian ini Ia sudah berusaha
mencari Fiona, ke apartemennya, ke perpustakaan, kafe langganannya, tetapi
batang hidung gadis itu tidak terlihat. Sampai Adrian memutuskan untuk
menelepon Min Rae dan menanyakan keberadaan Fiona yang katanya sedang duduk di
bawah pohon di sekitar halaman kampus. Adrian segera bergegas ke halaman kampus
dan saat hendak menghampiri gadis yang sudah dicari-carinya, langkahnya
terhenti karena ada seseorang yang lebih dulu menghampirinya. Adrian
menyipitkan matanya dan memperhatikan laki-laki itu dari kejauhan. Tatapannya
terpaku begitu menyadari siapa laki-laki yang sedang berbicara dengan Fiona.
Lee Jae Woo.
Apalagi yang diinginkan laki-laki itu?
Ujar Adrian dalam hati. Ia lalu
memutuskan untuk bersandar dan mengintip dari balik pohon. Sayangnya, Ia tidak
bisa mendengarkan apapun yang sedang dibicarakan dua orang itu karena terlalu
jauh. Adrian mulai merasa penasaran dan bertanya-tanya dalam hati, kenapa Jae
Woo tiba-tiba mencari Fiona? Mau apa dia? Apa yang mereka bicarakan? Apakah
Fiona akan mendengarkannya lagi? Semoga tidak…
Untuk beberapa menit Jae Woo
masih berdiri di sana menatap Fiona. dan Adrian masih bersandar di balik pohon,
diserang oleh begitu banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul sendiri di dalam
otaknya. Adrian tidak pernah melepaskan tatapannya dari kedua orang itu. Ia
terus memperhatikan Jae Woo yang sedang berbicara, Adrian berusaha
menebak-nebak perkataan laki-laki itu dari tatapan matanya pada Fiona dan juga
gerak-geriknya.
Tetapi ketika Ia melihat ke arah
Fiona, kenapa gadis itu menatap Jae Woo seperti itu? Kenapa tatapannya terlihat
dalam begitu? Sesaat kemudian, Adrian merasa jantungnya berdebar sedikit lebih
cepat. Ia merasa was-was, ada sebersit rasa takut yang muncul di dalam hatinya
ketika melihat tatapan Fiona yang dalam itu kepada Jae Woo.
Cepat pergi, cepat.
Adrian berharap dalam hati.
Beberapa saat kemudian, Jae Woo berjalan meninggalkan Fiona dan perasaan lega
segera menjalar di seluruh tubuh Adrian.
Ia lalu melangkahkan kaki dengan
pelan menuju Fiona, berusaha agar gadis itu tidak menyadari keberadaannya.
Adrian tersenyum ketika melihat Fiona yang sepertinya sedang tenggelam sendiri
dalam pikirannya sambil menyandarkan kepalanya di atas lutut.
“apa kau tidak ada kerjaan lain
selain melamun di bawah pohon?”
Gadis itu tidak menjawab untuk
beberapa saat. Namun kemudian suaranya terdengar sangat kesal. “aku tidak
melamun!”
Adrian sedikit terkesiap begitu
mendengar reaksi Fiona. Tapi kemudian senyumnya melebar, gadis itu memang
selalu terlihat manis saat sedang marah. Adrian suka itu.
“kau siapa la…”
Perkataan Fiona terhenti begitu
menyadari sosok Adrian. Laki-laki itu tetap memperlihatkan kedua lesung
pipitnya, bahkan ketika wajah Fiona terlihat makin kesal.
“kau tahu, kau terlihat jelek
kalau sedang marah-marah.” Gurau Adrian.
Fiona lalu menutup kedua
telinganya. “terserah! Aku tidak mau dengar!”
Ia kembali ke posisi semulanya.
Sepertinya dia memang sedang sangat kesal. Apa lagi yang membuatnya seperti
ini?
Adrian kemudian berjalan
mendekati Fiona dan duduk bersila dengan posisi menghadap Fiona.
“Hey…” gumam Adrian sambil
menggoyang pelan bahu Fiona.
“Fiona-ssi.”
Fiona masih tidak menoleh. Ia
masih bersikukuh menahan posisinya yang menatap ke arah lain. Yang penting hari
ini dia tidak mau melihat wajah Adrian, titik.
“kenapa kau manja sekali?” keluh
Adrian. Sebenarnya Ia hanya berusaha terdengar mengeluh, walau pada kenyataanya
Adrian menyukai pribadi Fiona yang bersikap seperti anak kecil kalau sedang
kesal.
“apa Jae Woo sudah membuatmu
kesal lagi?”
Pertanyaan Adrian barusan membuat
Fiona terkesiap. Jadi Adrian sudah melihat Jae Woo yang berbicara dengannya
tadi? Salah! Fiona kesal bukan karena Jae Woo. Ia sudah merasa tidak terlalu
peduli lagi dengan laki-laki pelukis itu. Untuk apa mengharapkannya lagi?
Fiona lalu menoleh ke arah Adrian
dengan cepat. “apa menurutmu aku selalu kesal hanya karena Lee Jae Woo??” tanya
Fiona msih dengan nada kesal yang sama.
“Baiklah, itu berarti karena
aku.” Kata Adrian dengan santai.
Fiona mengerjapkan matanya.
“Lihat? jawabanku tepat lagi. Kau
barusan mengerjapkan matamu.”
Fiona lalu menunduk malu. Apakah dia
semudah itu untuk ditebak? Ia yakin teman-temannya tidak semudah itu
memprediksi sikap dan pikirannya. Bahkan Min Rae pernah bilang kalau Fiona
merupakan gadis yang rumit. Tetapi kenapa Adrian—orang yang termasuk baru
dikenalnya—sangat mudah menebaknya?
Tanpa menunggu jawaban Fiona,
Adrian mulai menjelaskan. “Kemarin aku memang sibuk, ya walaupun aku memang seharusnya sibuk. Aku sama sekali tidak
tahu soal rencana pertemuanku dengan Mi Na sebelumnya.”
Fiona hanya diam dan menunggu
Adrian untuk melanjutkan.
“Ibuku menelepon dari Inggris
kemarin. Dan tiba-tiba saja mengabariku soal pertemuan dengan putri teman
dekatnya dulu di Korea. Dan ternyata putrinya itu adalah Song Mi Na.”
Fiona melirik ke arah Adrian yang
masih menjelaskan sambil menatap ke arah lapangan yang membentang luas.
Ternyata dia memang belum tau sebelumnya, pikir Fiona.
Adrian lalu menoleh dan Fiona
segera mengalihkan pandangannya saat itu juga.
“kalau aku tahu jadwal rekamanku
akan ditunda kemarin, aku pasti sudah memintamu untuk membawakan kimchi. Tapi permintaan ibuku itu harus
dituruti. Kalau tidak, semuanya bisa bubar.” Ujarnya sambil tersenyum samar.
Fiona terdiam untuk beberapa
saat. Ia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Namun rasa penasarannya
mulai terbit. “lalu bagaimana makan siangmu kemarin?”
Fiona mengutuk dirinya dalam
hati. Bodoh! Kenapa menanyakan hal yang tidak ingin diketahuinya?
“Mi Na merupakan teman bicara
yang menyenangkan. Dia tidak pernah kehabisan bahan obrolan.”
“lalu?”
Adrian tidak menjawab sesaat, Ia
berpikir, kemudian menambahkan, “gadis periang, lucu dan juga punya wajah yang
cantik.”
Fiona lalu mendapati dirinya
meremas lengan bajunya. “kau menyukainya?” tanyanya, tidak bisa menahan diri.
Adrian kemudian tersenyum tipis
dan mengangkat bahu. “ya, sepertinya.”
Fiona kemudian berhenti bernapas
sejenak. Genggaman di lengan bajunya semakin erat.
“tapi aneh.” Tambah Adrian.
Fiona lalu melirik ke arah
Adrian. “apa?”
“aku merasa tidak tertarik dengan
semua itu.” Ujar Adrian, terlebih kepada dirinya sendiri. “aku merasa… ada yang
lebih penting daripada semua itu.”
Fiona mengerutkan keningnya,
tidak paham dengan perkataan Adrian barusan.
Laki-laki itu lalu menatap ke
arah Fiona dan tersenyum. “mungkin karena aku sudah sering dikelilingi
gadis-gadis cantik dan menyenangkan di London.”
Mata Fiona yang tadinya menatap
Adrian dengan tatapan serius kini melebar, Ia lalu mendengus.
“apa? Bukankah itu memang
kenyataan?” tanya Adrian setelah melihat reaksi Fiona.
Fiona tidak menjawab. Memang, itu
kenyataan. Tadi awalnya gadis itu mengira Adrian sedang berbicara serius, tapi
sepertinya Ia hanya bercanda tidak jelas dan memuji diri sendiri seperti biasa.
Fiona lalu memandang Adrian untuk
sesaat dan segera mengalihkan pandangannya tak acuh. Laki-laki itu hanya
tersenyum kecil melihat tingkah laku Fiona.
“apa kau sedang sibuk?”
“kenapa?”
“bisa mengantarkanku ke suatu
tempat?”
Fiona tidak menjawab, Ia lalu
meraih laptop di depannya dengan cepat. “aku sibuk.”
Adrian melirik gerak-geriknya dan
mulai bergumam tidak jelas. “apa kau hanya pura-pura…”
“aku memang sibuk! Apa kau tidak
lihat aku sedang mengetik?” sela Fiona sambil membuka kembali laptopnya dan
berusaha untuk konsentrasi. Ia sedang tidak ingin pergi ke mana-mana, apalagi
bersama Adrian. Ia masih merasa kesal.
Adrian lalu menghela napas dan
memandang ke depan. “sebenarnya aku tidak tahu banyak toko di Seoul. Aku
sendiri jarang jalan-jalan. Apa kau tahu toko seni di sekitar sini?”
Fiona lalu menoleh dengan sebelah
alis terangkat. “toko seni? Untuk apa?”
“jawab saja kalau ada di sekitar
sini.” sahut Adrian. “kau bilang tidak bisa mengantarku. Untuk apa aku memberitahumu?”
“kalau begitu aku tidak bisa
membantu.” balas Fiona tak peduli, lalu kembali memusatkan pandangannya ke layar
laptop.
Beberapa saat kemudian, Fiona
terkesiap, sadar pergelangan tangannya tiba-tiba digenggam oleh Adrian.
“aku tahu kau tidak sibuk.” Ucap
Adrian lembut. “bisa antarkan aku?”
Fiona menatap mata cokelat gelap
yang menatapnya itu dengan hangat. Dalam hati Ia terus bertanya, kenapa
laki-laki ini bisa tahu semuanya begitu saja? Dan kenapa tatapannya kepada
Fiona selalu menghipnotis seperti itu?
Fiona lalu mendesah pelan, dan
mengalah. “baiklah.”
Senyum Adrian melebar. Ia tahu
Fiona pasti akan merubah pikirannya.
Fiona lalu membereskan barangnya dan
berdiri. “di sekitar sini ada toko seni yang menjual hampir semua
perlengkapannya. Ngomong-ngomong, kau mau membuat sesuatu?”
“untuk apa kertas sebanyak itu?”
tanya Fiona sambil melirik kantung belanja yang berisikan kertas-kertas daun
daur ulang, gulungan pita cokelat kecil, hiasan akar tumbuhan dan kertas hvs
polos.
“sepertinya kau ingin membuat
sesuatu yang bertema alami.” tambah Fiona.
Adrian masih memperhatikan isi
kantung dan memeriksa belanjaannya. “ya, bisa dikatakan seperti itu.”
Fiona lalu menatap laki-laki itu
dengan penuh penasaran. “kau mau buat apa?” tanyanya dengan nada bersemangat.
“aku merasa bosan di apartemen
kalau sedang tidak ada jadwal apapun. Jadi kalau tidak jalan-jalan, aku ingin
membuat sesuatu yang unik.” Ucap Adrian, seakan-akan artis terkenal sepertinya
kurang kerjaan.
Fiona menatapnya heran. “kau
artis terkenal. Mana mungkin pernah punya jadwal kosong?”
Adrian lalu menoleh sambil
tersenyum kecil. “kau tidak percaya?”
“rasanya sulit dipercaya.”
“kau tidak tahu semua hal dibalik
kehidupan artis.”
Fiona masih menatap Adrian dengan
alis terangkat. Tidak terlalu mengerti apa yang dibicarakan laki-laki itu.
“oh ya, aku hampir lupa
memberitahumu.” Langkah Adrian terhenti dan Ia mengambil sesuatu dari dalam
saku jeans putihnya.
Ia lalu menyodorkan secarik
kertas kecil kepada Fiona. “aku sudah pindah apartemen. Ya, tepatnya rumah. Ini
adalah rumah ibuku.”
Fiona lalu membaca alamat rumah
yang tertera di atas kertas. “kau pindah? Tidak merasa nyaman dengan yang
dulu?”
Adrian menggelengkan kepala
sambil tersenyum. “bukan. Apartemen sebelumnya sudah sangat nyaman. Hanya saja
aku berencana untuk tinggal lebih lama di Seoul daripada yang direncanakan.
Jadi aku ingin mencari tempat tinggal tetap.”
Fiona lalu menatap Adrian dan
terdiam sesaat. Mereka saling bertatapan untuk beberapa detik.
“tinggal lebih lama?”
Adrian mengangguk pelan. “mm. aku
rasa aku akan menetap di sini.”
“kenapa?”
“terlalu indah untuk
ditinggalkan.”
Fiona sedikit tercengang
mendengar perkataan Adrian barusan. Ia masih belum memahami jawaban itu, tapi
ada yang berbeda dari cara Adrian menatapnya sekarang. Sesuatu yang Fiona tidak
bisa tebak. Sesuatu yang hanya Adrian tahu.
Karena tenggelam dalam pikirannya
sendiri, Ia tidak sadar tangan Adrian sudah menyentuh kepalanya. Ia menahan
napas sejenak.
“aku pergi dulu. Terima kasih sudah
mengantarkanku ke sini.” Kata Adrian sambil mengacak rambut Fiona pelan. “aku akan
meneleponmu nanti.”
Sebelum beranjak pergi, Ia tersenyum
hangat kepada Fiona seperti biasanya. Gadis itu hanya mengangguk pelan dan tak
mengatakan sepatah kata. Ia memandangi laki-laki itu dari belakang, cara berjalannya
yang tegak, tangannya yang menyisir pelan rambut cokelat pirangnya dan wajahnya
yang terlihat jelas dan tampan walaupun hanya dilihat dari samping.
Fiona lalu menghembuskan napas dan
tersenyum lega. Sepertinya suasana hatinya sudah membaik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.
0 Comments:
Posting Komentar