Jumat, 24 Agustus 2012
Bagian Empat Belas
“Hei, bangun.”
Seulas senyuman kecil tersungging di bibir Adrian begitu mendengar
suara gadis itu. Ia membuka matanya samar, sejenak Ia menyentuh kepalanya,
ternyata sudah membaik.
“bagaimana kepalamu?” Tanya Fiona. “sudah membaik?”
Adrian menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu kemudian membalikkan
badannya dan menemukan gadis didepannya tersenyum manis. Sesaat Adrian merasa jantungnya
berdegup kencang. Senyuman itu, senyuman manis pagi hari yang pertama kali Ia
lihat.
“kau tahu? Kau sudah hampir tidur seharian.” Suara Fiona membuyarkan
lamunannya.
“benarkah?” Adrian lalu bersandar di tempat tidurnya. “tapi aku sudah
merasa jauh lebih baik.”
Senyum Fiona yang manis kembali mengembang. “baguslah. Kau mandi saja
dulu, aku akan membuatkan sarapan. Kau mau minum apa?”
“tidak usah, aku buat sendiri saja nanti.”
Fiona terdiam sejenak, namun akhirnya Ia menganggukkan kepala. “baiklah.”
Gadis itu kemudian berjalan keluar kamar, namun suara Adrian yang
memanggilnya menghentikan langkahnya. “kau tidur di mana semalaman?”
Fiona membalikkan badannya, Ia tersenyum kecil. “semalaman aku tidak
pulang. Jadi, aku tidur di sofa di ruang tengah.”
“oh ya?”
Fiona mengangguk. “ya. Aku rasa aku harus menunggumu, siapa tahu kau
butuh bantuan. Tidak apa-apa, bukan?”
“tentu saja tidak masalah.” Sahut Adrian. “terima kasih, Fiona-ssi.”
Gadis itu hanya tersenyum membalasnya. Kedua mata hijaunya yang jelas
itu terlihat berbeda dari biasanya, mata yang membuat Adrian selalu ingin
memperhatikannya. Hanya dengan melihat gadis itu, semua beban Adrian sejak tadi
malam terasa terangkat begitu saja.
“kau yakin ingin minum kopi?”
“kenapa tidak?” Tanya Adrian balik sambil menuangkan air panas ke
dalam cangkir kopinya.
“kau baru saja membaik. Apa tidak sebaiknya minum teh hangat saja?”
Adrian menggelengkan kepalanya pelan. “yang benar saja. Sejak aku
tinggal di Korea, minumanku selalu teh hijau. Aku bahkan tidak sempat meminum kopi favoritku.”
Fiona tidak menjawab, Ia beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri
dapur. Matanya lalu melirik ke arah sarapan yang terletak di atas meja makan.
“kau sudah lihat sarapan yang aku buatkan?”
Adrian lalu mengikuti arah pandangan Fiona. Senyumnya mengembang
begitu melihat dua tumpukan pancake
dengan madu di atasnya. “kau bisa buat pancake?”
“kau kira aku hanya bisa membuat kimchi?”
“aku tidak pernah tahu kalau kau bisa membuat pancake.” Kata Adrian sambil berjalan menghampiri meja makan.
“itu karena kau selalu meminta kimchi.”
Balas Fiona. “dan pancake bukan
satu-satunya kue yang bisa aku buat. Aku juga bisa membuat cheese cake, cupcake dan apple
pie.”
Adrian tersenyum sambil menyantap suapan pertama pancakenya. “ternyata kau penulis yang pintar memasak. Baguslah.”
Fiona yang sudah meraih secangkir air panas kemudian mengangkat
sebelah alis. “bagus? Bagus kenapa?”
“aku tidak usah khawatir nantinya.”
“apa?”
“tidak apa-apa.” Balas Adrian cepat. “mmm, pancake ini benar-benar enak. Apalagi madunya, manis sekali.”
Fiona terdiam sejenak. Kenapa laki-laki di depannya itu selalu
mengatakan hal yang membingungkan? Dan jeleknya, Adrian tidak pernah
memperjelas maksudnya dari perkataan-perkataan itu. Gadis bermata hijau itu
hanya menghela napas dan kembali membuat teh, sepertinya Ia sudah terbiasa
dengan sikap Adrian yang tidak bisa ditebak itu.
Sambil menyantap sarapannya, Adrian memperhatikan Fiona yang sedang
membuat teh untuk dirinya sendiri. Adrian lalu menghentikan gerakannya. Menatap
gadis itu yang sedang mencelupkan kantung teh dan menambah dua kubus kecil
gula, semua perpaduan gerakannya membuat Adrian seakan-akan terpana. Adrian
tidak pernah melihat gadis itu di dapur sebelumnya. Dan sekarang, Ia berdiri di
depan Adrian yang sedang menyantap pancake
buatannya dan membuat teh untuk dirinya sendiri. Adrian menundukkan
kepalanya dan tersenyum, Ia tidak bisa menahan diri untuk tersenyum lebar
begitu menyadari semua itu.
“Adrian? Kau kenapa?” Tanya Fiona begitu melihat Adrian yang
menundukkan kepala.
“hah? Tidak apa-apa. Aku hanya… melihat lantai.”
Senyum Adrian masih terlihat samar. Gadis itu menatapnya heran. Ia
hanya mengangguk pelan dan berjalan menghampiri sofa. Ia lalu menyesap tehnya
dan membuka novel favoritnya.
“kau membaca buku yang sama lagi?”
“sebenarnya aku sudah
membaca ini empat tahun yang lalu. Aku membaca ulang lagi.”
Adrian menyipitkan kedua matanya, memperhatikan buku yang Fiona baca.
Ia lalu beranjak dari kursinya dan menghampiri sofa. Mata Adrian melebar begitu
menyadari judul buku yang Fiona baca.
“Fallen?”
Fiona lalu mengangkat novelnya dan memperlihatkan buku favoritnya itu
kepada Adrian dengan senyum bangga. “Apa kau tahu buku ini? Ini novel favoritku.”
Adrian tidak menjawab untuk beberapa saat. Kebetulan sekali. Ini
benar-benar kebetulan. Ia tidak pernah tahu novel yang berjudul Fallen. Tidak pernah tahu sejak empat
tahun yang lalu sampai gadis di depannya menunjukkan buku itu kepadanya. Kenapa
judul buku ini bisa kebetulan sama dengan judul albumnya?
“aku tidak tahu. Tapi novel itu… menceritakan tentang apa?”
senyum Fiona masih mengembang di wajahnya. Ia cukup merasa senang melihat
Adrian yang penasaran dengan buku bacaannya. “ini novel fantasi. Menceritakan
tentang kisah cinta antara seorang manusia dan malaikat. Mereka sudah pernah
bertemu sebelumnya di masa lampau, dan kini mereka dipertemukan kembali.”
“mereka saling
mencintai?”
Fiona mengangguk sambil tersenyum. “aku sangat menyukai cerita di
novel ini. Aku harap suatu saat nanti aku bisa menulis buku yang menarik
seperti ini.”
“tentu saja kau pasti bisa.”
Fiona terlihat ragu sejenak, namun akhirnya Ia memberanikan diri. “apa
kau mau mendengar bagian yang menarik?”
“dari novel itu?” Tanya Adrian. Ia tersenyum, menyadari gadis
didepannya itu terlihat antusias membicarakan topik favoritnya.
“ya, tapi kalau kau memang mau.”
“tentu saja. Siapa tahu aku bisa mendapatkan inspirasi.”
Sebersit rasa penasaran kemudian muncul di dalam hati Fiona.
“inspirasi untuk apa?”
Awalnya Adrian tidak ingin menjawab pertanyaan Fiona itu, namun
akhirnya Ia tersenyum. “untuk album baruku.”
Fiona membalas senyuman Adrian, Ia lalu membuka novelnya kembali dan
membalik-balikkan halaman, mencari bagian yang paling berkesan.
Fiona menghentikan gerakan tangannya, senyum kecil mengembang di
bibirnya begitu melihat bagian favoritnya.
‘Her mere proximity gave him the most
peculiar sensation, like the kind of heat sent out when a log shatters to ash
in a fire. He could not escape her.’
Fiona melirik ke arah Adrian, bermaksud untuk melihat reaksi laki-laki
itu setelah mendengarnya membaca sesaat. Ia lalu kembali mengalihkan
pandangannya ke buku dan melanjutkan kalimatnya yang tadi.
Adrian terus memperhatikan Fiona, mendengarkan setiap kata yang gadis
itu ucapkan, meresap setiap kalimat yang Ia suarakan. Setelah beberapa saat
Adrian memusatkan konsentrasinya pada cerita, Ia tidak menyadari dirinya yang
beralih hanya menatap Fiona. Hanya Fiona. Seolah-olah hanya ada gadis itu di
dalam pandangannya, tidak ada latar belakang. Hanya gadis itu yang sedang
membaca bukunya. Suaranya yang lembut dan lemah membuat Adrian merasa
terhipnotis. Sebercah cahaya matahari menyentuh rambut cokelat gelapnya yang
bergantung di sisi pipinya. Sesekali Fiona melirik menatap Adrian,
memperhatikan wajah laki-laki itu sekilas. Adrian merasa gadis itu seperti…
seperti… ah, Adrian tidak dapat menjelaskan perasaannya sendiri.
Gadis di depannya sesekali tersenyum manis saat membaca bukunya, Ia
juga sesekali tertawa begitu melihat Adrian yang terus melamun
memperhatikannya. Fiona pasti tidak menyadari betapa anehnya perasaan Adrian
sekarang. Betapa anehnya sampai yang Ia bisa lihat saat itu hanya Fiona. Dan
terlebihnya, laki-laki itu tidak ingin mengalihkan pandangannya. kalau bisa, Ia
berharap waktu berhenti saat itu juga.
“aku capek.” Ujar Fiona sambil menutup bukunya. “ternyata membaca
sambil berbicara itu benar-benar jauh lebih melelahkan dari pada membaca dalam
hati.”
Suara Fiona barusan membuyarkan lamunan Adrian yang sudah berlangsung
sekitar sepuluh menit. Laki-laki itu lalu tersenyum tipis dan merubah posisi
duduknya yang tadinya menyandarkan kepalanya di sisi sofa. Adrian lalu duduk
menengadah menatap langit-langit rumahnya.
“Fiona-ssi.”
“mm??”
“boleh aku tanya sesuatu?”
“apa itu?”
“apakah ini pertama kalinya kau bercerita untuk seseorang?”
Fiona terdiam sesaat, Ia agak heran dengan pertanyaan Adrian barusan.
“bukan pertama kalinya. Aku sudah pernah membaca untuk anak-anak panti asuhan
yang dulu sering aku kunjungi.”
Adrian kembali merubah posisi duduknya, Ia lalu menatap Fiona. “boleh
aku minta sesuatu?”
“minta apa?”
“lain kali bacakan cerita itu lagi untukku.” Pinta Adrian sambil
menunjuk ke arah buku Fiona. Ia lalu mengulurkan tangannya mengambil buku yang
Fiona pegang dengan perlahan.
“Fallen…” bisik Adrian.
“sangat menarik.”
“kenapa aku harus membaca untukmu lagi?” tanya Fiona. Lalu, “bukankah
kau bisa membaca sendiri?”
“aku tidak terlalu suka membaca buku.” Jawab Adrian langsung. “tapi
aku suka ceritanya. Dan juga…”
“juga apa?” sela Fiona. Adrian menatap gadis itu untuk sesaat. Ia
bermaksud untuk menyelesaikan perkataannya, tetapi tidak jadi.
“tidak ada.”
Fiona mulai menatap Adrian dengan perasaan dongkol. Kenapa Ia terus
tidak menyelesaikan kalimatnya? Apa laki-laki itu kira menyenangkan bagi orang
yang sedang mendengarkannya?
“kenapa kau selalu berlagak misterius seperti itu!”
“hah?” Adrian sedikit terkesiap. Suara Fiona barusan lebih terdengar
seperti membentak dari pada bertanya.
“kau selalu tidak menyelesaikan kalimatmu. Selalu membuat orang
penasaran. Selalu membuat orang bingung.” Kata Fiona masih dengan nada kesal.
“kau kira itu menyenangkan?”
“jadi aku sudah sering membuatmu penasaran?”
Fiona tetap menatap Adrian dengan tajam. Ia lalu memelototi laki-laki
itu dan beranjak dari sofa. “sudahlah! Lupakan saja. Kau sudah membaik bukan?
Aku pulang sekarang.”
Gadis itu lalu mengambil tasnya dan cepat-cepat berjalan menuju pintu
keluar.
“aku ingin selalu mendengar suaramu.”
Fiona menghentikan langkah kakinya. Ia harus memproses otaknya untuk
beberapa saat setelah mendengar ucapan Adrian barusan.
Adrian memperhatikan gadis itu, tetapi dia masih terdiam membelakangi
Adrian.
“suaramu selalu menenangkan.” Adrian masih menatap gadis itu, berharap
Ia membalikkan badannya. “itu alasan lain yang aku punya. Kau bisa melakukannya
untukku, bukan?”
Fiona lalu menundukkan kepalanya, gadis itu merasakan sesuatu yang
sudah lama Ia tidak rasakan, sesuatu yang menyenangkan muncul di dalam hatinya.
Ia lalu membalikkan badannya dan menatap Adrian. “ya.” Ujarnya. Gadis itu
kemudian tersenyum, memperhatikan mata Adrian yang juga menatapnya. Fiona
kembali membalikkan badannya dan berjalan keluar pintu.
Adrian masih terpaku dalam posisi semulanya. Ia mulai menyesali
sikapnya yang kurang berani untuk berterus terang dan belum mengatakan semuanya
yang ingin Ia katakan pada Fiona.
Sebenarnya itu adalah alasan utamaku.
Aku ingin mendengar suaramu setiap hari. Suara yang hanya ditujukan untukku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.
0 Comments:
Posting Komentar