Jumat, 13 Juli 2012
Bagian Tujuh
“Aku
bilang lihat ke depan saat kau berjalan.” Ucap Adrian sambil memperhatikan
Fiona yang masih berputar-putar di sisi jalan. Seulas senyuman manis
tersungging di bibir Adrian. Gadis yang sedang berdiri di depannya ini sedang
sibuk dengan kesenangannya sendiri. Hal baru yang Adrian ketahui secara tidak
langsung adalah: Fiona Park sangat menyukai salju. Hal ini membuat Adrian
melupakan sesak yang Ia rasakan beberapa saat yang lalu. Hanya dengan menatap
Fiona tersenyum seperti itu, hanya dengan menatap Fiona tertawa seperti itu.
“Tidak biasanya aku melihat salju
saat mulai turun.” Ungkap Fiona sambil berjalan di depan Adrian. “Biasanya aku
selalu terbangun di pagi hari dan melihat salju yang sudah menumpuk di luar
apartemen.”
“Berarti hari ini kau mengalami
hal baru denganku?”
Fiona berhenti berjalan dan
membalikkan badannya ke arah Adrian, Ia lalu tersenyum manis, “benar.” Jawabnya
singkat lalu kembali menghadap ke depan. Adrian sontak terdiam sejenak. Ini
pertama kalinya Fiona tersenyum manis, kepadanya.
Sesampainya di apartemennya,
Fiona segera membungkukkan badannya sedikit ke arah Adrian. “terima kasih untuk
hari ini.” Ujar Fiona sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket panjangnya.
“terima kasih karena sudah menghiburku.”
Adrian yang juga menjejalkan
kedua tangannya ke dalam saku jaketnya menatap Fiona untuk beberapa saat.
“Kenapa?” Fiona merasa sedikit
grogi ditatapi oleh Adrian.
“Tidak. Hanya menatapmu.”
“apa?”
“Ini pertama kalinya kau
tersenyum dan terlihat ceria seperti itu di depanku.” Gumam Adrian.
Fiona mengerjapkan matanya. Ia
baru sadar kalau itu memang pertama kalinya Adrian melihatnya ceria dan riang
seperti itu. Tiba-tiba Adrian membungkukkan badannya dan melihat wajah Fiona
lebih dekat. Fiona menahan napas dan otomatis mundur selangkah.
“kau suka mengerjapkan matamu.”
Kata Adrian polos. Fiona mengerjapkan matanya sekali lagi. “Lihat? Kau
lagi-lagi mengerjapkan matamu.”
“Itu bukan karena aku suka
mengerjapkan mataku.” bantah Fiona.
“apa kau selalu mengerjapkan
matamu saat kau kaget?” tebak Adrian seakan-akan Ia bisa menebak setiap arti
dari gerak-gerik Fiona.
‘Ya sudah, aku masuk dulu. Terima
kasih karena sudah mengantarkan.” Ujar Fiona dengan cepat. Adrian yang melihatnya
hanya tersenyum.
“Fiona-ssi.” Panggil Adrian saat
Fiona sudah di depan pintu utama apartemen.
“ya?”
“kalau kau membutuhkan seseorang
untuk mendengarkanmu, aku ada di sini.” Ucapan Adrian itu membuat alis Fiona
terangkat. Awalnya, Ia butuh beberapa detik untuk memproses perkataan Adrian
itu. Namun entah apa, ada sesuatu yang mendorongnya untuk menganggukkan
kepalanya.
“ya.” Jawab Fiona singkat.
Adrian yang mendengar jawaban
Fiona yang singkat itu segera menunduk dan tersenyum, lalu mendongak menatap
Fiona, “selamat malam.”
Setelah memasuki apartemennya,
Fiona menyandarkan tubuhnya di sisi pintu. Perkataan Adrian barusan masih
terngiang di kepalanya, kalau kau
membutuhkan seseorang untuk mendengarkanmu, aku ada di sini.
Fiona yang sudah mengerti maksud
dari perkataan Adrian itu lalu tersenyum tipis. Sepertinya pria itu selalu
datang tepat waktu. Ia selalu datang di saat suasana hati Fiona sedang
memburuk. Dan itu sudah terjadi dua kali. Apakah Ia masih bisa datang di saat
yang tepat seperti itu?
“Hwa Young-ssi?” suara Min Rae
membuat Fiona sedikit terkesiap.
“Ya ampun…” Fiona memegang
dadanya terlihat melebih-lebihkan, “kau hampir membuat jantungku copot.”
“kau sendiri, siapa yang
menyuruhmu menyandar di depan pintu dan melamun seperti itu?” protes Min Rae.
Fiona melamun? Ia sendiri tidak menyadari dirinya melakukan itu.
“Aku tidak melamun.” Bantahnya.
“jelas-jelas kau melamun.” Min
Rae mengotot. Ia lalu menyipitkan kedua matanya, “dan baru saja kulihat kau
senyum-senyum sendiri.”
Fiona lalu memecuk kedua alisnya
dan saat Ia baru ingin menjawab perkataan Min Rae, ponselnya berbunyi. Mata
Fiona melebar saat membaca satu pesan yang diterimanya,
Kalau
kau membutuhkanku, hubungi saja aku.
A.H.
Kening Fiona awalnya mengerut karena tidak mengenali nomor
telepon pengirim, namun mereda seketika saat menyadari inisial nama A.H. Adrian Harrison.
“Kenapa kau pulang telat? Apakah
acaranya seharian?” tanya Min Rae yang awalnya menunggu respon Fiona.
“iya,” Fiona lalu memasukkan
ponselnya ke dalam tas. “banyak sekali yang menghadiri acara fashion show itu.”
“apa… apa kau baik-baik saja?”
“hah?”
“apa ada sesuatu yang terjadi
siang ini?” Min Rae terdengar ragu.
Fiona yang awalnya heran dengan
pertanyaan temannya itu, kini mengerti maksud Min Rae. Sahabatnya itu pasti sudah
mengkhawatirkan dirinya selama seharian. Fiona tau Min Rae pasti khawatir kalau
Ia akan pulang dengan wajah yang kusut karena Lee Jae Woo.
“aku memang melihat Jae Woo hari
ini.” Kata Fiona sambil memasuki ruang santai.
“lalu?”
Fiona lalu melirik ke arah
temannya setelah menghempaskan tasnya ke sofa, “akan kuceritakan.”
Mike Wylson sedang bersantai di
sofa lebar di apartemennya sambil menikmati teh hijau asli yang tak pernah Ia
cicipi di London. Hari ini tidak ada jadwal syuting video musik, itu artinya Ia
harus memanfaatkan waktu bersantai ini seharian penuh. Baru saja Mike ingin
memejamkan matanya, tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka keras,
“Mike!” seru Adrian di ambang
pintu. Anak itu hampir saja membuat jantung Mike mencelos.
Mike meletakkan tehnya di atas
meja dengan kaget, “woah, ada apa ini??”
Adrian melangkah menghampirinya
dengan ekspresi wajah yang membingungkan.
“ada apa kau tiba-tiba datang dan
mengganggu hari liburku?” ujar Mike sambil mendongak melihat Adrian yang sudah
berdiri di depannya.
“Sorry. Tapi aku hanya ingin bertanya sebentar.” Adrian lalu
berkacak pinggang, Ia mendesah keras, “apa kau pernah tidak bisa… tidak bisa
tidur karena teringat seseorang?”
“apa??” Alis Mike terangkat
tinggi.
“Apa kau pernah memikirkan
seseorang dan tidak bisa menyingkirkannya dari pikiranmu, lalu kau merasa
seperti sudah gila?”
“apa yang sedang kau bicarakan…”
“Hanya dengan melihat senyumannya
saja, kau bisa merasakan sesuatu aneh yang menyenangkan. Lalu saat melihatnya
murung, kau merasa gundah. Apakah kau pernah merasakan semua itu?” tanya Adrian
bertubi-tubi tanpa memperdulikan reaksi Mike.
“Kau sakit?” tanya Mike polos.
Adrian lalu memegang keningnya
dengan sebelah tangan, “tidak, aku tidak sakit.” Namun wajahnya masih terlihat
agak frustasi.
“kau memang tidak sakit.” Mike
lalu menyesap tehnya, “tetapi kau terkena demam cinta.” Ucap Mike dengan senyum
lebar.
“apa? Demam cinta?” kata Adrian
masih setengah percaya.
“memangnya apa lagi? Tidak bisa
tidur karena memikirkan seseorang, selalu senang saat melihatnya tersenyum,
gundah saat melihatnya murung. Kau kira itu semua bukan ciri-ciri orang yang
sedang jatuh cinta?”
Adrian terdiam sejenak, Ia
terlihat berpikir, lalu Ia menatap Mike dengan mata yang disipitkan.
Mungkinkah?
“tidak.. tidak mungkin secepat
itu.” Gumam Adrian.
“berarti kau jatuh cinta pada
pandangan pertama.” Jawab Mike langsung. Apakah Ia baru saja mendengar apa yang
Adrian gumamkan?
“Pandangan pertama?”
“Ad, aku memang sudah berumur
tiga puluh delapan tahun dan berkeluarga.” Jelas Mike kini dengan nada yang
terkesan berceramah. “tetapi aku masih sangat ingat masa-masa mudaku. Di umurmu
yang muda seperti ini, hal-hal seperti itu banyak terjadi.”
Ekspresi wajah Adrian masih
terlihat heran, “jadi maksudmu, aku jatuh cinta pada pandangan pertama, tetapi
itu hanya seperti perasaan sesaat?” Adrian menyimpulkan.
“Ya, tidak lebih seperti itulah.”
Mike lalu melirik ke arah Adrian yang masih menunduk dan terlihat berpikir,
“tetapi aku tidak tahu pasti. Semua itu tergantung padamu. Lagipula, siapa
gadis yang membuatmu tiba-tiba uring-uringan seperti ini?”
Adrian lalu menoleh ke arah Mike,
“sudahlah. Kembali saja ke waktu refreshingmu.”
Adrian kemudian berjalan
meninggalkan apartemen managernya. Mike hanya mendengus melihat Adrian yang
tidak menjawab pertanyaannya itu. “hah, anak itu. Masih belum mau cerita
ternyata.” Mike lalu mendongak ke arah Adrian yang sudah ada di ambang pintu,
Ia berseru, “Ingat besok sore kau ada jadwal syuting! Jangan sampai terlambat
lagi dan kau harus tampil dengan wajah yang segar!”
Adrian yang mendengar seruan Mike
itu kemudian menyandar di balik pintu apartemen. Ia kembali tenggelam dalam
pikirannya sendiri. Jatuh cinta pada pandangan pertama? Benarkah? Ia memang
merasa berbeda sejak pertama kali melihat wajah Fiona Park di taman itu.
Wajahnya yang polos dan murni membuatnya mengira bahwa gadis itu adalah
bidadari. Tetapi kenapa di saat yang bersamaan Ia merasa hidupnya tidak akan
sama lagi?
“Apa??!” pekikan Min Rae yang
melengking itu membuat Fiona terloncat di sofanya.
“Kau bilang… kau bilang Adrian
Harrison yang mengantarmu pulang?” Min Rae masih menyentuh pipinya dengan kedua
tangannya. Gadis itu terlihat begitu terkejut.
“aku sudah yakin ekspresimu pasti
akan seperti ini.” Ujar Fiona dengan santai. “tapi bagaimanapun juga, Ia sudah
dengan senang hati menemaniku dan menghiburku seharian, lagipula Ia bilang
tidak baik untuk membiarkan gadis berjalan sendirian di malam hari.” Jelas
Fiona.
Min Rae mengibas-ngibaskan kedua
tangannya. Fiona bingung dengan tingkah dan ekspresi sahabatnya saat ini.
Antara senang, terkejut dan girang?
“Ya ampun… kenapa kau tidak
bilang-bilang kemarin kalau kau akan bertemu dengannya di acara fashion show?” Min Rae menggoyang-goyang
tubuh Fiona.
Fiona berusaha melepaskan
cengkraman Min Rae yang erat itu, “aku sendiri tidak tahu kalau dia akan
datang.”
“lalu apa kau akan bertemu
dengannya lagi?”
“apa?”
“kalian sudah mulai sering
bertemu. Bukankah itu sudah sangat mungkin kalau kalian akan bertemu lagi?” Min
Rae lalu menatap Fiona dengan mata hitamnya yang berkilat-kilat.
“aku…”
“apakah kau mempunyai nomor
teleponnya?” sela Min Rae.
“Ya ampun Min Rae.” Fiona segera
beranjak dari sofa, “kau memang benar-benar sudah gila.”
“memang aku sudah gila.” Min Rae
menepuk kedua pipinya, berusaha meredakan sikapnya yang sudah mulai kegirangan
itu. “tetapi segila apapun aku, jika kau bersama Adrian Harrison itu jauh lebih
baik.”
“hah?” ucapan Min Rae barusan
membuat Fiona menoleh dengan tatapan begitu heran. “maksudmu?”
Min Rae kemudian tersenyum
mencurigakan, “aku merasa ada sesuatu. Dan memang akan ada sesuatu.”
Fiona memiringkan kepalanya,
masih tidak mengerti dengan ucapan Min Rae. “sesuatu?”
Min Rae yang masih tersenyum
hanya mengangguk-ngangguk, “yup. Sesuatu.”
Fiona lalu mengangkat sebelah
tangannya, “sudah. Sudah cukup hari ini, kau bisa membuatku bertambah pusing.
Aku ingin mandi dulu.”
Fiona sedang terduduk di dalam
kelas sastranya sambil melamun. Min Rae yang duduk di sebelahnya menyadari
sikap Fiona yang tak seperti biasanya itu. Ia lalu menyikut sikunya, “ada apa
denganmu?” tanya Min Rae dengan alis terangkat.
“hah? Apa?”
“lihat…” Min Rae kemudian
mengetuk-ngetuk pelan kepala Fiona. “kau tidak pernah melamun di kelas. Apalagi
kalau kita sedang diberikan tugas.”
Fiona lalu mendesah pelan. “aku hanya lelah.”
“tidak punya ide untuk menulis?”
“Bukan…” ujar Fiona sambil
menopang dagunya. “aku hanya sedang tidak bisa berpikir.”
“bukankah sama saja?” Min Rae
lalu kembali menulis. Fiona mengiyakkan perkataan sahabatnya itu.
Saat itu aku akan menyebut namamu. Karena kau adalah inspirasi dari
lukisanku.
Lagi-lagi ucapan Lee Jae Woo itu
menggema di kepala Fiona. Ia lalu memijat pelipisnya, apa yang harus Ia
lakukan? Kenapa Ia masih saja merasa dadanya sakit saat mengingat Lee Jae Woo?
Kenapa Ia masih mengharapkan Lee Jae Woo?
Ponsel Fiona bergetar dan Ia segera menggelengkan
kepalanya, berusaha sadar dari lamunannya. Ada satu pesan masuk.
Ternyata
di depan kampusmu sangat ramai. Apa kau ada di dalam kampus sekarang?
Fiona lalu mengerjapkan matanya,
itu adalah pesan dari Adrian. “Jangan-jangan…”
“Jangan-jangan apa?” tanya Min
Rae yang mendengar Fiona berbisik.
Fiona lalu terlihat terburu-buru.
“Aku harus segera pergi.” Kata Fiona sambil bergegas meninggalkan ruangan
kelas.
Min Rae yang melihat sikap Fiona
yang tiba-tiba aneh lalu memutuskan untuk membereskan buku-bukunya, “Hwa
Young-ssi, tunggu aku!”
Fiona berlari kecil di sepanjang
koridor, Ia berharap apa yang diduganya salah. Apa maksud dari pesan singkat
Adrian barusan? Apa jangan-jangan… Ia ada di depan kampus saat ini? Di jam
makan siang seperti ini? Tentu saja banyak orang yang sedang berkeliaran di
depan kampus!
Saat Fiona berjalan menelusuri
gerbang utama kampus, matanya melebar ketika melihat kerumunan para mahasiswi
dari kejauhan. Dan yang paling jelas dilihatnya adalah pria tinggi berambut
cokelat itu yang sedang tersenyum ramah kepada mereka dan sesekali memberikan
tanda tangan. Tak salah lagi. Itu pasti Adrian Harrison.
Fiona terdiam dan menggaruk
kepalanya pelan, apa yang harus dilakukannya kalau sudah seperti ini?
“Hwa Young-ssi!” suara Min Rae
yang menggelegar itu membuat Fiona terloncat. “Ya ampun! Dia ada di sini! Di
depan kampus kita!” seru Min Rae sambil menunjuk-nunjuk ke arah Adrian.
“ya, aku tau.” Fiona mendengus,
keadaan terlihat makin heboh. Adrian yang tadinya sibuk memberi tanda tangan
kemudian menoleh ke arah Fiona. Ia tersenyum.
Mata Fiona melebar, lalu Ia
menggelengkan kepalanya. Jangan ke sini!
Gerak-gerik Fiona memberI isyarat, seakan-akan Ia tahu apa maksud dari senyum
Adrian itu.
“kau kenapa melakukan itu?” Min
Rae menepuk bahu Fiona. “biarkan saja kalau dia memang mau menghampiri kita!”
“kau gila? Dengan kerumunan
gadis-gadis itu?”
Min Rae lalu tersenyum salah
tingkah, “ah iya… benar juga.”
Fiona lalu menghela napas.
Bagaimanapun juga, Ia harus membantu Adrian untuk terlepas dari kerumunan gadis
itu. Fiona tahu, Adrian pasti sebenarnya datang bukan untuk mencari perhatian.
“Apa boleh buat.” Desah Fiona, Ia
lalu segera berjalan menuju kerumunan mahasiswi di gerbang utama. Min Rae yang
terlihat begitu bingung hanya mengikuti langkah kaki sahabatnya itu.
Fiona lalu berusaha menerobos
kerumunan para gadis yang menghalangi jalannya. “permisi… permisi…” sesekali
Fiona membungkuk untuk meminta maaf.
Adrian yang melihat Fiona
menghampirinya hanya terdiam di posisi semulanya. Ia lalu tersenyum, “aku kira
kau akan menyuruhku pergi, ternyata…”
“ayo cepat pergi dari sini.” Sela
Fiona sambil berbisik. Ia lalu menarik lengan jaket Adrian sambil berjalan
keluar dari kerumunan para gadis.
“Oppa!” panggil beberapa gadis
yang ditinggalkan idolanya itu. Adrian hanya tersenyum kepada mereka dan
melambaikan tangannya,
“sampai ketemu lagi!” serunya.
Fiona yang melihat semua itu
hanya memutar bola matanya. Baginya gadis-gadis itu sangat kekanak-kanakkan.
“Kenapa kau menarikku seperti
itu?”
Fiona lalu terhenti dan menunduk
melihat tangannya yang menggenggam lengan jaket Adrian. Ia lalu tersentak dan
melepaskan genggamannya.
“Kenapa?” tanya Adrian polos.
“Maaf.” Suara Fiona terdengar
ragu.
“Kalau kau ingin menarik
seseorang, pegang tangannya seperti ini.” Ujar Adrian sambil mengambil
pergelangan tangan Fiona. Gadis itu lalu mengerjapkan matanya.
“kalau kau menarik lengan bajuku
seperti itu, bajunya bisa robek.” Kata Adrian sambil masih memegang pergelangan
tangan Fiona.
Fiona yang sempat terdiam sesaat
lalu menarik tangannya dengan cepat, “kau tidak lihat gadis-gadis itu? Kalau aku
melakukan itu, mereka bisa membunuhku!”
Adrian menoleh ke arah para gadis
yang masih berkumpul dan menatapnya dari kejauhan dan Ia hanya tertawa kecil.
“Temanmu?”
Fiona lalu mengikuti arah
pandangan Adrian ke belakangnya. Min Rae sedang berdiri sambil tersenyum salah
tingkah.
“Dia juga salah satu fans
beratmu.” Ungkap Fiona.
“Benarkah?” nada suara Adrian
terdengar ceria dibuat-buat.
Fiona lalu menyipitkan kedua
matanya, “sebenarnya apa tujuanmu kemari?”
“Aku ada jadwal syuting nanti
sore. Tetapi aku tidak punya jadwal apa-apa siang hari ini. Karena aku merasa
bosan, akhirnya aku datang menghampirimu ke kampus.” Jelas Adrian, masih dengan
wajah yang polos.
“dan kau jelas-jelas tahu kalau
ada banyak orang di kampus?”
Adrian hanya mengangguk. Fiona
lalu menggelengkan kepalanya. Pria ini memang terkadang bisa begitu
merepotkannya.
Min Rae kemudian datang
menghampiri mereka berdua, “haloo…” sapanya dengan nada suara yang lemah
dibuat-buat.
Fiona lalu menoleh ke arah Min
Rae,“Adrian, perkenalkan ini Min Rae. Min Rae, ini Adrian.” Ujar Fiona dalam
bahasa Inggris. Fiona merasa aneh saat memperkenalkan Adrian kepada Min Rae. Ia
rasa itu tidak perlu sama sekali. Di saat yang bersamaan, Ia penasaran, apakah
ada orang disekitarnya yang tidak mengenal Adrian Harrison?
“Oh, jadi ini Min Rae sahabatmu
itu.” Ujar Adrian sambil bersalaman dengan Min Rae.
Fiona terdiam sesaat dan
berpikir. Benar juga, waktu itu Ia pernah menyebut nama Min Rae di rumah makan
Kimchi.
“kau… mengenalku?” tanya Min Rae
dengan matanya yang berkilat-kilat dan nada suara riang yang ditahan-tahan.
Fiona tidak bisa menahan diri. Ia ingin tertawa saat itu juga karena ekspresi
sahabatnya yang benar-benar salah tingkah.
“tentu saja. Aku mengetahuimu
dari Fiona.”
Min Rae lalu menatap Fiona dan
tersenyum lebar kepadanya seperti memberi tanda terima kasih. Fiona hanya
tersenyum melihat sikap temannya yang sudah tidak karuan itu.
“di sini sangat ramai. Bagaimana
kalau kita cari tempat lain saja?” usul Adrian tiba-tiba.
“ke mana lagi? Sekarang jam makan
siang dan orang-orang sudah melihatmu tadi. Mereka pasti akan mengikutimu ke
mana-mana.” Ujar Fiona sambil melihat sekelilingnya.
“ke apartemen kita saja.”
“Apa??” Suara Fiona meninggi saat
mendengar usulan Min Rae.
Adrian yang melihat reaksi Fiona
lalu tersenyum tipis, “tidak usah repot-repot. Mungkin aku bisa pergi ke tempat
lain.”
Fiona lalu menatap Adrian,
sebenarnya Ia tidak bermaksud untuk mengusir Adrian. “itu…”
“Tidak apa-apa! Mampir saja ke
apartemen kami dan kau akan aman di sana.” Bujuk Min Rae.
Adrian tidak menjawab sesaat dan
melirik ke arah dua gadis di depannya bergantian. “kalau memang tidak ada yang
keberatan.”
“tenang saja, aku tidak keberatan.
Kau juga tidak kan, Hwa Young-ssi?” tanya Min Rae penuh harap.
Fiona terlihat berpikir sebentar,
namun akhirnya Ia menjawab, “mungkin tidak akan apa-apa.”
“Silahkan duduk, anggap saja
rumah sendiri.” Ucap Min Rae sambil berjalan ke dapur.
Adrian yang baru memasuki
apartemen Fiona dan Min Rae melihat ke sekeliling ruangan. Ia merasa nyaman di
dalam apartemen ini. Dari luar, kompleks apartemen ini terlihat begitu mewah
dan modern, namun sebenarnya apartemen nomor 204 yang ditinggali Fiona dan Min
Rae lebih terkesan minimalis dan simple.
“Minimalis.” Gumam Adrian yang
duduk di atas sofa di ruang santai. Fiona yang menghampirinya tersenyum
mendengar gumaman Adrian. “Kita berdua memang suka apartemen kecil yang
berkesan simple.” Ujar Fiona. “kau mau minum apa? Teh?”
“Ya ampun, Hwa Young-ssi! Jangan
hanya memberikannya teh. Aku yakin kita masih punya persediaan jus jeruk di
kulkas.” Tegur Min Rae sambil berlari kecil ke arah kulkas untuk memeriksa.
“yup! Kita masih punya. Ah,
syukurlah masih ada persediaan cupcakes. Oh, tunggu dulu, di sini masih ada macaroons yang aku belikan untukmu
kemarin. Kau tidak akan memakannya kan?”
Fiona menatap Min Rae dengan
heran. Kenapa gadis itu jadi serba sibuk?
“ya, aku tidak memakannya.” Jawab
Fiona singkat. “Tidak biasanya Ia terlihat rajin seperti ini. Ia sangat
berisik, bukan?”
Adrian tertawa, lalu berkata,
“Temanmu terlihat menyenangkan.”
Fiona lalu duduk di atas sofa.
“Jadi, berapa lama syutingmu akan berlangsung?”
Adrian yang masih memperhatikan
seisi ruangan lalu menoleh, “tiga minggu.”
“ternyata lumayan lama.” Ujar
Fiona sambil mengangguk.
Mata Adrian kemudian menangkap
sebuah foto besar yang di gantung di tembok dekat televisi. “Julia Scarlett?”
Fiona menoleh ke arah Adrian dan
mengikuti arah pandangannya ke foto. Ia lalu menunduk dan tersenyum lemah, “ah,
iya.”
Untuk beberapa saat Adrian
memperhatikan foto besar itu. Terbesit di benaknya, Julia Scarlett memang
memiliki wajah yang hampir sama dengan Fiona. Adrian mengagumi foto itu untuk
beberapa detik dan menoleh ke arah Fiona yang masih menunduk. “Kau merindukan
ibumu?”
Fiona hanya mengangguk pelan.
“terakhir kali aku melihat wajahnya saat aku berumur lima tahun. Sudah lama
sekali dan aku sangat merindukannya.” Ujar Fiona sambil menatap lurus dengan
tatapan mata yang kosong.
Adrian menghela napas, “Kejadian
di dalam hidup memang tidak bisa diprediksi.”
Fiona lalu memejamkan matanya dan
tertawa hambar, “dan aku masih tidak bisa melupakan masa lalu.” Ungkapnya.
“kejadian waktu itu… kecelakaan
waktu itu… aku masih, takut.” Lirih Fiona.
Adrian yang mendengar perkataan
Fiona yang terpatah-patah lalu menoleh, kecelakaan?
Bibir bawah Fiona bergetar, dan
Ia masih sangat ingat semua memori kecelakaan itu. Fiona masih memejamkan
matanya dan Ia bisa membayangkan semua yang terjadi saat itu, empat belas tahun
yang lalu seperti mimpi buruk.
“Fiona-ssi.” Suara Adrian menarik
Fiona dari pikirannya. Ia merasa suara Adrian yang rendah dan lembut itu baru
saja menyelamatkannya dari bayangan mimpi buruk yang terulang di otaknya.
“Masa lalu itu ada dua. Yang
dikenang dan dilupakan.” Adrian lalu menatap Fiona dengan lurus, “dan kau harus
bisa melakukan yang terakhir. Lupakan masa lalu yang pahit.” Ujar Adrian dengan
nada serius tapi lembut.
Fiona mendapati dirinya menatap
mata Adrian yang cokelat itu untuk beberapa saat. Ia merasakan… kehangatan.
“apa kau ada waktu besok siang?”
tanya Adrian tiba-tiba membuyarkan lamunan Fiona.
Fiona mengerjapk;an matanya, “hah?
Aku rasa tidak.”
“Bagus. Datanglah ke lokasi syuting
dan bawakan aku sup kimchi.” Pinta Adrian
sambil tersenyum, “tapi aku tidak mau sup kimchi
dari restoran. Aku mau kimchi buatanmu.”
Fiona lalu menatapnya dengan heran,
“kenapa? Bukankah dari restoran lebih cepat?”
“aku penasaran dengan kemampuan memasakmu.”
Ujar Adrian sambil menopang dagunya, “dan lagi pula aku ingin tahu apakah aku bisa
menghabiskan sup kimchi buatanmu sampai
sisa terakhir.”
Fiona lalu tersenyum. Adrian memang
selalu mengalihkan arah pembicaraan tiba-tiba, dan entah kenapa itu bukannya membuat
Fiona kesal, tapi selalu berhasil membuat Fiona tersenyum seperti saat ini. “baiklah.
Sepertinya pekerjaanku sebagai koki kimchi
mu akan dimulai.”
Namun sebelum Adrian sempat menjawab
ucapan Fiona, Ia mendengar suara Min Rae yang lantang dan ceria, “Hidangannya sudah
datang, ada yang mau Pitasco macaroons? Rasanya
seperti teh hijau.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.
0 Comments:
Posting Komentar