"Asal kau berada disampingku, di mana saja terasa hangat. terlihat terang. semuanya begitu jelas."

Rabu, 23 Januari 2013

Bagian Delapan Belas

Kilat yang begitu terang menyilaukan dunia untuk satu detik. Diikuti dengan suara gemuruh dari langit yang begitu dahsyat… membuatnya takut hanya untuk mengintip dari celah jari tangannya.
Satu… dua… tiga. Bagaikan suara bejana minyak yang berjatuhan silih berganti, membuat gendang telinganya berdengung. Dengan perlahan dia memberanikan diri untuk menyingkirkan tangannya dari wajah dan melihat apapun yang kini berhadapan dengannya. Asap. Panas. Menyesakkan. Dia berusaha membuka pintu mobil, tapi dengan tubuh kecil dan tangan mungil itu, ditambah paru-paru yang mulai kehabisan oksigen, dirinya tak akan mampu hanya untuk menggerakkan jari tangannya.
Dia yakin dia akan mati. Berakhir di sini, tanpa kedua orang tua di sampingnya. Bagaimana ini? Kalau memang harus mati, setidaknya dia harus mengucapkan selamat tinggal atau mencium pipi ibunya. Tapi yang duduk disebelahnya hanya suster yang mungkin, juga ada dalam keadaan yang sama. Saat kedua matanya mulai tertutup, tiba-tiba suara teriakan yang begitu nyaring terdengar begitu jelas di telinganya yang masih terasa sakit. Kedua matanya kini membelalak kaget.
Bukan. Dia bukan hanya berteriak. Dia juga menangis. Memanggil, memanggil… tidak jelas. Dia tidak bisa mendengar dengan jelas. Seakan-akan suara itu mulai tenggelam jauh, jauh ke dasar. Dan saat itulah dunia berwarna hitam.

Adrian terbangun dan tersentak dari mimpi buruknya dengan baju yang begitu basah. Dia terengah-engah, berusaha untuk menghirup oksigen sebanyak mungkin, mimpi barusan terasa begitu nyata, begitu menyesakkan. Dia yakin betul sesaat yang lalu dirinya terkunci di dalam mobil, terancam mati oleh gas beracun yang mencekik paru-parunya.
“kenapa bisa bermimpi seperti itu.” Gumamnya. Untuk sesaat Adrian merasa itu pernah terjadi padanya. Jika memang benar, kenapa dia tidak ingat sama sekali? Dia lalu menggelengkan kepalanya dengan tegas, untuk mengiyakkan dugaan itu. Tidak mungkin itu pernah terjadi di masa kecilnya. Masa kecilnya begitu indah dan menyenangkan, tak ada sama sekali memori yang mengerikan. Sampai ayahnya meninggal. Tapi mimpi barusan terasa begitu nyata, begitu jelas, Ia masih ingat setiap detik dari mimpi itu.
Adrian mendesah, lalu beranjak dari tempat tidurnya dan menghampiri meja kerjanya. Ia melirik ke arah dinding, masih jam 02:00 pagi. Apakah Fiona sudah tidur? Apa dia bisa tidur? Sebenarnya Adrian enggan meninggalkan gadis itu sendirian di apartemennya, walaupun sekarang Min Rae sudah pasti ada di sekitarnya. Tadi malam Adrian berhasil membujuk Fiona untuk menyisip teh hangat dan menyicipi sedikit dada ayam gorengannya. Dia tidak ingin meninggalkan gadis itu sampai Ia tertidur lelap, tetapi Fiona berusaha meyakinkan Adrian bahwa dia sudah jauh lebih baik, bahkan Ia beranjak dari sofa dan membuatkan Adrian kopi, juga kembali melanjutkan tulisannya. Adrian yakin Fiona hanya berpura-pura—bukan, setidaknya berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Karena bibirnya masih terlihat pucat dan Adrian yakin Ia masih berkeringat dingin. Namun melihat senyumannya yang tulus di wajah yang pucat itu, Adrian berusaha untuk tenang dan percaya pada Fiona.
Adrian mengambil ponselnya di meja dan hampir menyentuh nama Fiona di layar, namun Ia memutuskan untuk membatalkan niatnya, tidak ingin mengganggu istirahat gadis itu. Malah dia mengambil buku kecil buatannya di dalam laci dan membuka halaman yang terakhir kali dia tulis. Kini tanpa satupun foto tertera di halaman itu, Adrian memenuhinya dengan tulisannya. Setiap kalimat mengandung makna tertentu. Setiap kalimat mengalir lancar di otak Adrian dan Ia jadikan sebuah lagu. Judul yang tertera di halaman itu adalah “Finesse”. Ia lalu membalikkan halaman ke halaman sebelumnya dan menatap foto di mana gadis itu sedang membuat kopi dan menghadap ke luar jendela. Tadi malam. Entah kenapa Ia mengambil foto itu saat wajah gadis itu bukanlah wajah terbaiknya. Terlihat sakit dan pucat. Namun bukan wajahnya yang membuat Adrian mengabadikan momen itu. Mata hijaunya yang memandang dunia luar dengan tatapan menerawang dan tangannya yang mengaduk secangkir kopi dengan pelan, bibir tipisnya yang mengatup rapat mencerminkan pikirannya yang begitu jauh dari dunia nyata. Jauh dari Adrian. Ekspresi itulah yang membuat Adrian terpukau dan memutuskan untuk mengaktifkan kamera ponselnya.
Sekarang Adrian tidak bisa kembali menghampiri tempat tidurnya, kantuknya hilang, Ia berusaha untuk menutup matanya, namun percuma. Hanya dengan menutup mata untuk beberapa detik, kilasan mimpi itu menghampirinya dan membuatnya semakin tidak nyaman. Tidak pernah sekalipun Ia mempunyai mimpi seperti itu sebelumnya. Sampai tadi malam. Apa… apa mungkin ada hubungannya dengan Fiona? Tapi bagaimana mungkin? Adrian mengacak-ngacak rambutnya dan memberitahu dirinya sendiri bahwa itu semua hanyalah mimpi. Mimpi belaka yang harus dilupakan. Mungkin dia hanya merasa begitu khawatir tentang Fiona, sampai-sampai Ia bermimpi buruk tentang sesuatu yang bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan gadis itu.
Untuk mengalihkan pikirannya, Adrian kembali memutuskan untuk mengambil ponselnya dan mengirim pesan ke Fiona.
“telepon aku saat kau bangun”
 

Jam delapan pagi. Dengan perlahan Fiona menggerakkan tangannya ke atas dan menyentuh dahinya. Sudah normal. Ia akhirnya bisa menghembuskan napas lega. Saat Adrian sudah keluar dari pintu rumahnya, saat itu juga Fiona ambruk dan tidak bisa menahan kakinya yang terasa begitu lemas. Gadis itu sama sekali tidak ingin terlihat lemah di depan Adrian, Ia tidak ingin melihat raut wajah Adrian yang khawatir, karena itu sangat menyakitkan baginya. Sudah cukup trauma membuatnya runtuh, melihat ekspresi wajah Adrian yang begitu memprihatinkan sama sekali tidak membantunya. Duduk di lantai yang begitu dingin, Ia tidak bisa membedakan temperatur badan dan lingkungan di sekitarnya. Memori yang mengerikan itu kembali lagi dan pergi. Lalu kembali lagi. Datang dan pergi dalam selang beberapa menit, membuat Fiona terengah-engah, tidak bisa mengontrol detak jantungnya yang tidak karuan. Menutup dan membuka mata tidak ada bedanya sama sekali sekarang, memori itu tetap mengganggunya. Sudah lama sekali sejak dia tidak mengkonsumsi obat lagi, dan kini Ia benar-benar sangat membutuhkan obat penenang.
Ya Tuhan, tolong jangan buat aku seperti ini lagi. Pintanya dalam hati. Jangan buat aku trauma lagi.
Sekitar satu jam terduduk di lantai dan menyandarkan kepala di sisi meja makan seperti itu, Min Rae akhirnya datang dan memekik kaget. Ia berlari ke arah Fiona dan membantunya berdiri.
Fiona sangat bersyukur kepada Min Rae, tanpanya, mungkin Fiona masih tergeletak di atas lantai dingin itu sampai pagi. Dengan perlahan Fiona bangkit dari tempat tidurnya dan tepat saat itu juga bel rumahnya berbunyi. Baru saja Fiona bermaksud untuk membuka pintu, Min Rae muncul di ambang pintu kamar. “biar aku yang buka.”
Fiona kembali terduduk di tepi tempat tidurnya dan menunggu. Menunggu yang terburuk. Beberapa menit kemudian, tidak ada lagi kilatan memori yang menyerangnya. Sudah berakhir.
Sudah berakhir. Baiklah, mereka sudah puas menyakitimu Fiona. Sekali itu saja. Tidak akan terjadi lagi, lupakan. Kau akan baik-baik saja, Fiona. Ujarnya berulang kali dalam hati.
Min Rae lalu muncul, kini dengan ekspresi yang ragu. “kau punya tamu.”
“siapa?”
“aku yakin kau tidak ingin menemuinya.” Ujar Min Rae walaupun ada sedikit keraguan di suaranya.
Fiona sudah mulai menduga-duga siapa itu, namun tetap saja Ia bertanya. “ucapkan saja.”
“Lee Jae Woo.”
Fiona terdiam sesaat. Namun Ia akhirnya memutuskan untuk berhadapan dengan Jae Woo. “di mana dia?”
“di depan. Aku belum mengijinkannya untuk masuk. Kau yakin ingin bertemu dengannya dengan keadaan seperti itu?” Min Rae melirik Fiona dari atas ke bawah.
saat itu Fiona lalu menoleh ke arah cermin dan menyadari penampilannya yang sangat sangat berantakan. Walaupun wajahnya sudah tidak terlihat pucat lagi, namun rambutnya kusut di sana-sini. Begitu juga bibirnya yang terlihat kering. “aku akan cuci muka dulu. Biarkan dia berdiri di depan.” Ujarnya sambil beranjak dari tempat tidur.
“oke.”
Saat Fiona membuka pintu rumahnya, Ia bisa melihat laki-laki tinggi berambut hitam pekat itu membelakanginya. Tak lama kemudian Ia membalikkan badan dan menampilkan senyum ramahnya kepada Fiona. Gadis itu hanya membalasnya dengan senyuman tipis. “kenapa tiba-tiba?”
“sebenarnya aku juga mendapat kabar tiba-tiba.” Balas Jae Woo. “ada sesuatu yang harus aku beritahu. Sebelumnya, bukankah tidak sopan membiarkan tamu berdiri selama ini di depan rumahmu?”
Fiona hanya terdiam menatap Jae Woo dengan ragu. “baiklah. Masuk.”
Fiona membuka pintu rumahnya lebih lebar dan membiarkan Jae Woo mengikutinya masuk ke dalam rumah. “kau ingin minum apa?”
“mungkin teh buatanmu?”
tanpa berkata lagi, Fioan menghampiri dapurnya dan segera mengeluarkan cangkir tehnya. Tanpa mengalihkan pandangannya, Fiona bisa merasakan tatapan Jae Woo yang mengawasinya. Tapi Ia tidak peduli.
“kau tahu? Hanya kau yang bisa membuat teh manis yang pas.” Ungkap Jae Woo. “sudah lama aku tidak meminum teh buatanmu.”
Fiona sama sekali tidak memberikan respon terhadap perkataan Jae Woo barusan. Begitu Ia selesai membuat teh, Fiona hanya berjalan menghampiri Jae Woo dengan ekspresi wajah datar. “langsung ke intinya saja.” Ujarnya sambil memberikan secangkir teh kepada Jae Woo.
Masih dengan sikap yang tenang, Jae Woo akhirnya menjelaskan maksud kedatangannya. “aku datang ke sini sebenarnya ingin memintamu sesuatu.”
Fiona mengangkat sebelah alis. “meminta apa?”
“kau tahu kalau aku mempunyai pameran lukisan beberapa hari yang lalu. Dan pagi ini aku baru saja mendapat telepon dari panitia penyelenggara. Mereka tertarik dengan salah satu lukisanku di pameran dan memintaku untuk mengajukan satu lukisan lagi yang akan dipamerkan di museum Internasional tepatnya pada tahun baru.”
Good for you.” Balas Fiona masih dengan ekspresi sebelumnya, datar. “lalu, apa hubungannya denganku?”
Jae Woo tidak menjawab untuk beberapa saat, berusaha menimbang-nimbangkan perkataan yang Ia ingin ucapkan. “lukisan itu… dirimu.”
Kini kedua mata Fiona terbelalak. “apa?”
“lukisan yang mereka pilih. Itu adalah lukisanmu, Park Hwa Young. Lukisan disaat kau duduk di kursi putih dan menulis di atas buku dengan ekspresi wajahmu yang khas saat berkonsentrasi.” Jae Woo menghentikan perkataannya dan menyisip tehnya. Ia lalu menatap Fiona yang juga sedang memperhatikannya. “momen itu adalah momen favoritku.”
Fiona masih terdiam. Ia berusaha memutuskan apa tujuan Jae Woo saat ini. Apa maksudnya mengatakan itu semua. Apakah Jae Woo hanya bermain-main dengan perasaan Fiona sekarang? Atau memang perkataannya itu tulus? Fiona berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk membalas perkataan Jae Woo, tetapi sepertinya Ia tidak bisa menemukan jawaban yang tepat saat ini. Satu hal lagi yang membuat Fiona terdiam adalah ternyata Jae Woo juga memajang lukisan Fiona di pamerannya. Hal itu tidak pernah terpikirkan, karena Fiona yakin yang diperdulikan Jae Woo saat ini adalah kekasih sumber segala inspirasinya, Ha Ra. Fiona bingung apakah Ia harus senang atau tidak menyadari kenyataan itu. “lalu kau ingin meminta…”
“Fiona.” Jae Woo menyela.
“ya?”
“maukah kau menjadi model untuk lukisanku berikutnya?” pinta Jae Woo. “aku akan mulai melukis pada hari natal. ini akan menjadi sesuatu yang besar. Aku yakin, lukisanku kali ini akan menjadi yang terindah.”
Fiona tahu tangan Jae Woo selalu berhasil membuat lukisan yang indah. Tak peduli apapun itu objeknya, pria itu memang sudah terlahir dengan tangan seorang pelukis legendaris. Dan hal itulah yang pertama kalinya membuat jantung Fiona berdegup kencang. Tangan Jae Woo yang bergerak mulus saat Ia membuat sketsa… Ia hanya membutuhkan lima detik untuk menganalisa, dan tangannya akan mulai bergerak cepat tanpa membuat kesalahan sedikitpun. Walaupun hanya sebuah kerangka lukisan, sudah bisa diduga hasilnya akan jauh lebih dari memuaskan.
“harus aku akui,” Ujar Jae Woo membuyarkan lamunan Fiona. “panitia pameran itu memang memiliki mata yang bagus.”
“bukankah panitia pameran memang seharusnya begitu?” respon Fiona dengan tegas.
“kau benar.” Balas Jae Woo. “jadi bagaimana? Apa kau bisa membantuku, Hwa Young-ssi?”
Jae Woo yakin Fiona membutuhkan beberapa waktu untuk mempertimbangkan ini. Tetapi Ia tetap menunggu Fiona sampai gadis itu benar-benar memberikan jawabannya.
Fiona menarik napas, lalu berkata dengan jelas. “baiklah. Hari natal, lima hari lagi, bukan?”


 


“kau serius? Menjadi model lukisannya?” tanya Min Rae dengan nada tidak percaya. “jangan bilang kau berkata iya karena kau masih…”
“bukan Min Rae! Bukan!” seru Fiona sebelum temannya itu sempat menyelesaikan perkataannya. “aku hanya ingin membantunya. Lagi pula sepertinya pameran internasional itu sangat penting baginya.”
Min Rae menyipitkan kedua matanya. “kau yakin?”
“aku bisa menjaga diriku sendiri.” Balas Fiona cepat. “juga… perasaanku.”
Mendengar ucapan Fiona, akhirnya Min Rae menyerah. “baiklah. Aku hanya khawatir kau terjebak lagi, Hwa Young-ssi.
Fiona lalu tersenyum. “kau tidak perlu khawatir lagi. Hwa Young yang kau kenal dulu, kini sudah menjadi Hwa Young yang baru. Kau tahu itu, bukan?”
Fiona lalu berjalan menghampiri meja belajarnya dan mengambil ponselnya. Satu pesan masuk, dari Adrian. Setelah melihat pesan itu, Fiona bergegas menghubungi Adrian.
“kenapa?” tanya Fiona begitu teleponnya dijawab.
“kau bangun jam berapa?” tanya Adrian di ujung sana. Fiona menoleh ke arah jam weker di mejanya. “sudah satu jam yang lalu.”
“kenapa baru menelepon?”
“memangnya penting?” balas Fiona sambil mendengus. “cepatlah, ada apa menyuruhku menelepon?”
“kau sudah baikan?” tanya Adrian dengan suaranya yang berusaha dibuat tenang.
“mm. ya. Sudah jauh lebih baik.” Jawab Fiona. “kalau kau tidak percaya, kau bisa datang ke rumahku.”
“ke apartemenmu.” Ujar Adrian mengoreksi. “baguslah kalau begitu. Dengarkan dengan baik. Kau, hari Natal, sungai Hangang.”
Fiona mengerjapkan mata dengan bingung. “hah?”
Adrian hanya terdengar tertawa rendah. “aku ingin kau pada hari Natal di sungai Hangang.”
Aku ingin kau? Kalimat itu membuat Fiona kaget dan pipinya mulai terasa panas. “maksudmu? Bicara yang jelas!”
“Fiona Scarlett, aku ingin kau datang ke Sungai Hangang pada hari Natal dan bertemu aku di sana. Sudah mengerti?”
seulas senyuman tersungging di bibir Fiona. Namun Ia ingat akan sesuatu. “hari Natal… aku sudah ada janji. Tapi aku rasa aku bisa datang.”
“janji?” Adrian terdiam sesaat, namun Ia mulai penasaran. “janji dengan siapa?”
Fiona menjawab dengan sederhana, “aku sudah janji dengan Jae Woo, aku akan datang ke studionya. Dia membutuhkan… sedikit bantuanku.” Sekitar tiga detik Adrian tidak mengatakan apapun, Fiona yakin sambungan teleponnya sudah terputus. “halo? Adrian?”
“oh, ya?” jawab Adrian seakan-akan Ia baru saja tersadar dari lamunannya. “terserah kau saja. Tidak datang juga tidak masalah. Tapi aku akan tetap menunggu. Sampai nanti, Fiona-ssi.
“Adrian…” belum sempat Fiona berkata lebih jauh, Adrian sudah menutup ponselnya. Saat itu Fiona tidak mengerti situasinya. Tepatnya di mana, posisinya berada saat ini. Semuanya terasa begitu aneh dan mengganjal. Dia benci saat-saat seperti ini, di mana dia harus lebih mengikuti intuisinya dibandingkan logikanya. Di mana Ia harus mengikuti ke mana perasaannya menuntunnya, bukan apa yang dikatakan pikirannya.




Adrian menjatuhkan tangannya dengan lemah, masih menggenggam ponselnya dengan erat. Ia lalu menyandarkan kepalanya di tembok dan mendesah panjang. Seulas senyuman tipis dan pasrah menghiasi wajahnya yang berwarna cerah. “seperti dugaanku. Mungkin memang akan terus begini.” Ia lalu berusaha melebarkan senyumannya, walau sulit. “She still not forget.
Read More
2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.

© Sunny In Winter, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena