"Asal kau berada disampingku, di mana saja terasa hangat. terlihat terang. semuanya begitu jelas."

Kamis, 28 Maret 2013

Bagian Dua Puluh


Sudah sejak sejam yang lalu Fiona terpaku dalam posisi yang sama. Masih menggenggam erat pulpen hitamnya dan matanya tidak pernah berpaling dari kertas putih yang sudah dipenuhi hangul. Awalnya Ia berniat menumpahkan semua idenya dalam bahasa inggris, tapi entah kenapa, saat Ia sudah duduk di depan meja tulisnya dan siap untuk menulis, semua rencana itu berubah seketika. Semua pikirannya sudah tertulis di atas kertas dalam bahasa Korea. Semuanya sudah teratur sejak Fiona menulis sejam yang lalu. Satu demi satu, Fiona menumpahkan semuanya di atas selembar kertas putih. seakan-akan Ia tidak berpikir, Fiona membiarkan tangannya bergerak mengikuti perasaannya.
Kini tinggal satu paragraf lagi. Untuk yang satu ini Fiona benar-benar tidak tahu harus menulis apa. Karena untuk melanjutkannya Fiona tidak bisa menggunakan pikirannya sendiri. Ia butuh kepastian. Dan itu bukanlah kepastian dari dirinya. Karena Ia yakin, semua kebingungan dan kegelisahannya selama ini sudah bisa Ia atasi.
Suara pintu terbuka membuat Fiona terkesiap, Ia lalu menoleh ke arah pintu dan mendapati Min Rae yang memandangnya dengan alis terangkat. “menulis lagi?” mata hitam Min Rae lalu melirik ke arah kertas Fiona. “jarang sekali kau menulis dalam bahasa korea.”
Saat Min Rae mengulurkan tangannya untuk mengambil kertas itu, Fiona segera menarik kertasnya dan meletakkannya di dalam laci. “belum selesai.”
Min Rae mendengus. “kenapa kau selalu ‘bisa baca kalau sudah selesai’”?
Fiona menggeleng pelan dan tertawa hambar. “aku tidak suka karyaku dibaca setengah jadi. Aku janji akan memperlihatkannya padamu kalau sudah selesai. Oke?”
Min Rae akhirnya mengalah dan menarik tangan Fiona. “terserah. Tapi sebagai gantinya kau harus membantuku menghias pohon natal.” Fiona tidak menjawab, Ia hanya tersenyum dan membiarkan dirinya ditarik keluar kamar.



Good job, Adrian.” Puji Mike sambil menepuk bahu artis binaannya itu. Showcase spesial Natal mereka sukses besar, semua tiket konser habis terjual. Adrian menghembuskan napas lega dan segera menjatuhkan diri di atas sofa lebar. “aku sangat bersyukur kau tidak memperlihatkan wajah kusutmu di atas panggung.”
“aku tidak mungkin melakukan itu di depan semua penggemarku.” Ujar Adrian sambil memejamkan mata. Sesaat kemudian Ia tersenyum. “jujur saja, aku tidak bisa menahan senyum saat mereka tersenyum lebar untukku.”
Mike kemudian menghampiri Adrian dan mengacak-ngacak rambut pria itu. “itulah Harrison yang aku tunggu-tunggu. Baguslah kalau penggemarmu bisa membuat suasana hatimu lebih baik.”
“mmm.” Jawab Adrian singkat. Ia tahu kalau suasana hatinya yang sempat membaik tidak akan bertahan lama. Saat semua kemeriahan ini sudah selesai, Adrian akan kembali merenung dan otaknya akan kembali dipenuhi dengan gadis itu. Mungkin penggemarnya memang bisa menghibur dirinya, tapi bahkan saat Adrian menyanyikan beberapa lagu, bayangan Fiona muncul begitu saja tanpa permisi. Mungkin itu karena Ia terlalu menghayati lagunya. Sampai-sampai Fiona menghampiri pikirannya hampir di setiap lagu yang ia nyanyikan. Seakan-akan semua lagu itu hanya Adrian curahkan untuk Fiona.
“hey, aku keluar dulu. Harus membantu para kru di luar. Kau istirahat saja, oke?” Suara mike membuyarkan lamunan Adrian. Ia lalu bangkit dari sofanya dan mengangguk singkat. Sesaat kemudian Adrian mengambil ponselnya yang diletakkan di atas meja rias. Ia lalu mengaktifkan ponselnya dan menatap wajah gadis blasteran yang terpampang di layarnya. Adrian sendiri juga tidak tahu kenapa tadi siang Ia mengganti latar belakang ponselnya dengan foto Fiona. Mungkin itu karena Ia terlalu merindukan gadis itu. Merindukan suaranya… tatapannya. Merindukan cara gadis itu menatap dirinya.
Adrian terkesiap saat ponsel ditangannya bergetar. Nama “Cherry Blossom” kemudian muncul di layar ponselnya dan mata Adrian melebar. Untuk beberapa saat Adrian hanya terpaku seperti itu. Ia akhirnya menggelengkan kepala untuk menyadarkan diri. Sebelum gadis itu memutuskan panggilannya, Adrian buru-buru memencet tombol “ok.”
Dengan perlahan Adrian menggerakkan ponselnya ke arah telinganya, ada perasaan takut kalau yang menghubunginya itu bukanlah Fiona. Semua ini terasa seperti mimpi.
“ha-lo?” suara lemah dan ragu terdengar dari ujung sana.
‘memang dia.’ Ujar Adrian dalam hati. Seulas senyuman manis muncul di wajah Adrian tanpa Ia sadari. Rasanya sudah seperti puluhan tahun tidak mendengar suara gadis itu. Sudah berapa hari mereka tidak bertemu? Tiga hari?
“Adrian? Kau di sana?” ujar Fiona lagi.
“mm. aku di sini, Fiona. di sini.” Adrian tidak bisa menahan perasaan lega dan ringan yang kini menyerbu dadanya. Ia yakin ini adalah perasaan terbaik yang pernah Ia rasakan di dalam hidupnya. Senyumnya lalu melembut. “sudah lama… tidak bicara. Selamat Natal.”
Fiona tidak menjawab untuk beberapa saat. Adrian hampir yakin kalau gadis itu sudah memutuskan sambungan. Tiba-tiba terdengar tawa rendah, “bukankah hanya 3 hari kita tidak bertemu? Tapi kau benar, rasanya lama sekali. Mungkin karena tidak ada yang memerintahiku untuk memasak lagi.” Ujar Fiona, lalu “selamat Natal juga, Adrian.”
‘tidak ada yang memerintahiku untuk memasak lagi.’ Adrian mengulang perkataan Fiona itu di benaknya. Mungkin gadis itu memang benar-benar tidak merindukannya, seperti Adrian merindukan gadis itu. Adrian tidak tahu harus berbicara apa, rasanya pikirannya kosong seketika, namun Fiona kembali bersuara, “kau sedang apa?”
“aku baru saja menyelesaikan showcase natal.” Jawab Adrian. “maaf tidak mengundangmu.”
“tidak masalah. Lagipula aku juga sedang membantu Min Rae menghiasi pohon natal.” Balas Fiona. “aku yakin dia tidak akan membiarkanku pergi begitu saja.”
Setelah Fiona selesai bicara, Adrian benar-benar tidak tahu bagaimana Ia harus menanggapi. Ya Tuhan, kenapa otaknya tiba-tiba sangat lamban? Adrian sangat tidak ingin kalau Fiona cepat-cepat mematikan ponselnya dan…
“ngomong-ngomong soal Natal…” Gadis itu kembali memulai pembicaraan. Adrian lalu menghembuskan napas lega.
“besok… bagaimana? Kau memang akan menunggu atau tidak? Aku tidak ingin terlihat seperti gadis tersesat.” Ujarnya sambil bergurau.
Senyum Adrian melebar. Ia tidak bisa menolak seberkas harapan yang muncul di dalam hatinya. “aku memang berencana seperti itu.”
“lalu?”
“aku tunggu kau jam tujuh malam di sungai Hangang. Tidak, terserah kau saja mau datang jam berapa. Aku akan menunggu.” Jelas Adrian.
“baiklah. Apa aku hanya perlu membawa diriku?”
Adrian tertawa singkat, Ia lalu berkata, “hanya dirimu. Jangan bawa Min Rae. Apalagi Jae Woo.”
Fiona tersenyum lebar mendengar gurauan Adrian. Namun Ia yakin Adrian tidak bercanda. “baiklah. Sampai jumpa besok, Adrian.”
“Fiona.”
“ya?”
“aku merindukanmu. Sangat.”

Salju turun di hari Natal. Pagi ini bahkan terasa seperti es. Awalnya Fiona hanya berencana menggunakan gaun kasual putihnya, namun sepertinya sekarang harus ditambah dengan baju dingin berbulu warna putih dan sepatu boots putih. seluruh tubuhnya terasa dingin, Fiona pun akhirnya memutuskan untuk menggunakan earmuffs putih yang sesuai dengan warna pakainnya. “sudah siap.” Gumam Fiona dalam hati.
Fiona segera bergegas keluar kamarnya dan mencari-cari Min Rae yang sepertinya sedang tidak ada di apartemen. Saat Fiona hendak mematikan pemanas di ruang tamu, Ia mendapati kertas kecil berwarna merah yang tertempel di kulkas. “aku ada acara natal mendadak. Mungkin akan kembali besok pagi. Merry Christmas my beautiful girl, Park Hwa Young! Semoga natalmu menyenangkan.”
“Semoga natalmu menyenangkan juga Min Rae.” Ujar Fiona sambil tersenyum menatap kertas merah itu. Ia lalu melipat dan menyelipkan kertas itu ke dalam tas kecilnya. Fiona melirik jam tangannya sesaat dan lalu bergegas mengambil kunci apartemennya.


“Kau ingin aku melukismu seperti itu?” Tanya Jae Woo dengan sebelah alis terangkat. Semua peralatan melukisnya sudah siap. Sejak tadi Ia hanya terduduk di kursi tingginya di depan kanvas besar menunggu Fiona. Gadis itu membuka pintu studionya tepat di saat Jae Woo sedang tenggelam dalam imajinasinya.
“apa kau tidak tahu kalau di luar sangat dingin?”
“sejak kemarin aku ada di studio.” Jawab Jae Woo. “mungkin akan lebih baik jika aku bisa melihat wajahmu dengan jelas.”
Fiona menyadari wajahnya yang tertutupi bulu jaket tebalnya. Ia segera melepaskan jaketnya dan meletakkan tas juga jaketnya di sisi sofa di seberang ruangan. “sudah lebih baik?”
Jae Woo memperlihatkan senyum lebarnya. “lebih baik.”
“jadi… kau ingin aku bagaimana?” Tanya Fiona ragu.
Jae Woo kembali mengangkat sebelah alis. “maksudmu? Oh… kau tidak perlu berpose atau semacamnya. Aku sudah biasa melukismu tanpa kau sadari.”
“apa?”
Jae Woo kembali tersenyum dan kini menatap Fiona yang menatapnya dengan mata agak tidak percaya. “aku selalu melukismu, Hwa Young. Saat kau menulis, saat kau membaca. Saat kau melakukan apapun yang menurutku terlihat menarik.” Jelas Jae Woo. “dan lukisanmu yang kau lihat dulu, bukanlah satu-satunya. Masih ada puluhan lainnya.”
Fiona tidak menjawab untuk beberapa saat. Ia lalu bertanya, “bagaimana kau bisa melukis sebanyak itu? Memangnya kau bisa mengingat setiap detail?”
Jae Woo kemudian mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan jari telunjuk. “setiap detail wajahmu sudah tercetak di sini.” Ujarnya. “awalnya aku pikir dengan melukis bisa membantuku melupakan banyak hal. Karena aku bisa melukis isi pikiranku di atas kanvas, dan membiarkan mereka menempel di sana, mencegah mereka untuk kembali ke otakku. Tapi untuk melupakanmu…”
Belum sempat Jae Woo menyelesaikan kalimatnya, Fiona segera mengalihkan pembicaraan. “bagaimana kalau kita mulai sekarang? Aku hanya perlu diam saja, bukan? “
“sulit.” Ucap Jae Woo menyelesaikan perkataannya. Ia lalu mengambil kuas kecilnya dan dengan tangan terangkat, siap untuk melukis, Ia menatap Fiona. “lakukan apa saja yang kau mau.”
Fiona mengangguk pelan. Ia duduk di atas sofa dan menatap lantai. Kenapa Jae Woo harus memberitahunya semua itu saat ini? Kenapa tidak dari dulu? Saat Fiona masih mengharapkannya. Saat Fiona masih sangat ingin bersamanya. Semua perkataan Jae woo barusan, walaupun itu memang benar-benar berasal dari lubuk hatinya, tidak akan merubah apapun. Karena Fiona sudah tidak ingin melihat kembali ke masa lalu.
“Fiona.” Suara Jae Woo membuyarkan lamunan Fiona. Saat Fiona mendongak, Jae woo sudah berdiri di depannya. “aku ingin kau menggunakan ini.”
Mata Fiona lalu mengarah ke arah gelang perak yang penuh dengan bintang-bintang kecil berwarna hijau. Hanya dengan sedikit gerakan, gelang itu bisa memantulkan cahaya hijau yang sangat indah di sekitarnya. “kau ingin aku menggunakan ini saat kau melukis?”
“gelang ini untukmu. Dan ya, aku ingin melukismu dengan gelang ini.” Ujar Jae Woo sambil mengulurkan tangannya. Fiona membiarkan Jae Woo mengenakan gelang bintang itu di pergelangan tangannya. “aku rasa gelang ini sangat cocok dengan warna matamu. Jadi aku memutuskan untuk membeli gelang ini kemarin sebagai hadiah Natal. Selamat Natal, Hwa Young.”
Untuk beberapa saat Fiona hanya menatap gelang itu. Ia tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari cahaya hijau yang terus dipantulkan bintang-bintang di gelang itu. “terima kasih. Maaf, seharusnya aku juga membawa hadiah Natal.”
“aku tidak mengharapkan hadiah apapun darimu.” Kata Jae Woo. “kau bersedia menjadi model lukisanku, itu sudah lebih dari cukup.”
Fiona hanya tersenyum tipis. Ia tahu kalau Jae Woo berusaha untuk memperlakukan Fiona sebaik mungkin. Jae Woo ingin Fiona melihat kalau dia bukanlah lagi laki-laki kurang ajar. Dan Ia ingin meyakinkan Fiona kalau ia diberikan kesempatan lagi, Ia akan menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Fiona bisa melihat semua itu dan semua yang Ia bisa lakukan hanyalah menghargai usaha Jae Woo.
“Baiklah kita bisa mulai sekarang.” Ujar Jae Woo yang kembali berhadapan dengan kanvasnya. Fiona hanya duduk dan menatap gerak tangan Jae Woo di atas kanvas dan raut wajah seriusnya. Untuk beberapa saat Jae Woo mengalihkan perhatiannya dari kanvas ke wajah Fiona, hanya untuk memastikan kalau ia melukis ekspresi yang sesuai.
Tak lama kemudian mata Fiona berpaling ke arah jendela besar di ruang studio. Lewat jendela itu Fiona bisa melihat butir-butir salju berjatuhan. Di tambah lagi dengan hiasan lampu-lampu natal yang terang benderang digantung hampir di setiap atap rumah. Fiona pun beranjak dari sofa dan segera menghampiri jendela besar itu. Ia mencondongkan badannya untuk melihat lebih jelas ke bawah. Matanya melebar dan senyum manis terulas di wajahnya.
Saat itulah Jae Woo terpana. Senyum Fiona, mata hijaunya yang berkilat-kilat. Kau bisa melihat kegembiraan Fiona yang terpancar begitu jelas. Dengan gerakan tangan yang begitu cepat, Jae Woo melukis setiap detail Fiona, berharap agar gadis itu tidak merubah posisinya.



Fiona yakin kalau Ia harus berada di sini tepat pada jam tujuh. Ia yakin ia tidak salah dengar kemarin. Fiona sudah mencoba untuk menghubungi Adrian tapi ponselnya tidak diangkat-angkat. “sebenarnya dia ada di sini atau tidak sih? Dia ada di mana juga tidak jelas…” gumam Fiona agak kesal.
Ia sudah memasang mata dan telinga. Berusaha mencari sosok Adrian di sekelilingnya, tapi tidak ada tanda sama sekali. Ia sudah mencari selama lima belas menit, Fiona hampir memutuskan untuk pulang. Saat itu juga ponselnya bergetar, dan Fiona bergegas menatap layar ponsel.
“maaf sudah membuatmu kebingungan.”
Hanya itu? Kekesalan Fiona memuncak. Ia cepat-cepat membalas pesan Adrian. “sebenarnya kau ada di mana? Aku sudah menunggu sejak tadi.”
“di sini. Aku bisa melihatmu”
“di sini di mana?! Berhenti membuatku terlihat seperti orang tolol.”
Setelah itu Fiona tidak mendapat balasan lagi. Saking kesalnya, Fiona hanya melempar ponselnya ke dalam tas. Ia tidak tahu harus mencari ke mana lagi. Sebenarnya apa rencana Adrian? Bermain petak umpet? Kalau itu memang rencananya, Fiona tidak punya banyak waktu. Saat Ia hendak berjalan meninggalkan tempat, tiba-tiba suara alunan piano terdengar dari ujung jalan. Alunan piano itu tidak terdengar begitu jelas, tapi Fiona tahu alunan piano itu. Ini adalah lagu korea yang dikenalnya. Fiona merenung, dan Ia tiba-tiba teringat akan suara gitar yang Ia dengar kemarin dari kejauhan. Suara gitar Adrian…
Fiona segera berlari mengikuti sumber alunan piano itu, dan tak lama kemudian, Ia bisa melihat laki-laki berjas putih dengan kemeja hitam dan celana panjang putih sedang memainkan piano di atas panggung kecil di pinggir sungai Hangang. Tidak hanya itu, Fiona juga mendapati dirinya di sekelilingi lilin-lilin kecil yang dinyalakan di setiap sisi jalan. Cahaya mereka yang redup menyatu, menerangi jalan setapak di pinggiran sungai Hangang. Kini dengan langkah pelan dan pasti Fiona menghampiri panggung kecil itu, dan suara alunan piano semakin jelas. Fiona semakin yakin kalau ini memang lagu yang Ia kenal.
Laki-laki itu menyadari kehadiran Fiona dan Ia menoleh ke arah gadis itu. Ia menyunggingkan senyum manisnya, dan Fiona bisa merasakan kehangatan yang sudah tidak asing lagi.

Aku kira ini adalah akhir dari ingatanku
Wajah yang tidak akan pernah aku lihat lagi melewatiku
Aku berdiri di tepi di mana aku tidak bisa melakukan apapun
Aku menyatukan kedua tangan dan berdoa

Agar aku bisa menunjukkan hatiku padamu
Hati yang masih belum melakukan apapun

Berdiri lagi
Aku ingin melihatmu yang sudah menungguku
Kembali lagi
Aku ingin mengatakan “aku mencintaimu”

Aku pikir dunia sudah berhenti
Hanya saat-saat bahagia yang sekarang melewatiku
Aku berdiri di tepi, berpikir aku tidak akan pernah memilikimu
Aku hanya berdoa seperti itu

Agar aku bisa merasakan cinta
Yang pernah kulewati

Aku sudah hidup tanpa menyadari
Betapa berharganya dirimu

Berdiri lagi
Aku ingin melihatmu yang sudah menungguku
Kembali lagi
Aku ingin mengatakan “aku mencintaimu”
Terjemahan “Love Again”- Kyu Hyun, S.M Ballad

Fiona masih terpaku dalam posisinya, seakan-akan tidak bisa menggerakkan kakinya yang tiba-tiba terasa berat, Fiona hanya terdiam di sana, menatap Adrian yang kini turun dari panggung kecilnya.
Ia berjalan ke arah Fiona, masih dengan senyum yang menghangatkan seluruh dunia gadis itu. “selamat Natal, Fiona-ssi.” Ujar Adrian. Fiona hanya terdiam, merasa bibirnya tiba-tiba kaku. Apa yang harus dikatakannya?
Adrian hanya menatap Fiona, menunggu gadis itu untuk mengatakan sesuatu. Matanya lalu terarah ke pergelangan tangan Fiona. “gelang yang bagus.”
Fiona melihat tangan kanannya. Ia baru ingat kalau kini pergelangan tangannya sudah dihiasi gelang dari Jae Woo.
“persis seperti matamu.” Ujar Adrian lagi.
“ya.” Jawab Fiona singkat. Ia menyentuh gelang itu, dan dengan perlahan memainkan bintang hijaunya.
“Apa Jae Woo yang memberikannya untukmu?”
pertanyaan Adrian barusan membuat Fiona sedikit terkejut. Bagaimana laki-laki ini bisa menebak dengan tepat? “iya… sebagai hadiah natal.” Jawab Fiona dengan suara samar. Entah kenapa, gadis itu merasa takut. Takut Adrian akan pergi saat Fiona mengucapkan itu. Takut Adrian akan menghindarinya lagi seperti kemarin-kemarin.
Saat Fiona hendak mengatakan sesuatu, Adrian membuatnya terkesiap. Laki-laki itu meraih tangan kanan Fiona dan menyentuh gelang bintang di pergelangannya. Sambil memperhatikan gelang itu dan dengan seluruh keberanian yang sudah Ia kumpulkan, Adrian akhirnya mengatakan,
“aku mencintaimu.”

 

 

Read More
2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.

© Sunny In Winter, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena