"Asal kau berada disampingku, di mana saja terasa hangat. terlihat terang. semuanya begitu jelas."

Sabtu, 02 Februari 2013

Bagian Sembilan Belas

What a bad timing, Luis.” Ujar Mi Na yang muncul dari belakang Luis Murray tiba-tiba. Pria jangkung itu membalikkan badan dan menatap sepasang mata hitam bulat milik Mi Na. Ia lalu menampilkan senyuman seribu wattnya. “oh, hey Mi Na.”
Mi Na menggeleng pelan dan memutar bola mata. “kau masih suka merayu walaupun sudah menemukan gadis spesialmu?”
“aku rasa ini sudah menjadi kebiasaan.” Ujarnya tak acuh. “lagipula kau seharusnya bersyukur karena bisa menatap senyumanku secara langsung. Kau tahu, banyak gadis yang membayar untuk…”
dia sungguh gadis yang beruntung.” Sela Mi Na dengan nada menyindir dan tatapan sinis. “siapapun yang kau cari di sini sekarang tidak ada.”
Luis mengangkat sebelah alis masih dengan senyuman yang terpapar di wajahnya. “kau jelas tahu apa tujuanku ke sini. Maaf Mi Na, lain kali aku akan benar-benar melihat sekeliling butikmu.”
“Terserah.” Jawab Mi Na. “kau punya lima menit?”
“tentu.” Ujar Luis sambil masih melemparkan pandangannya ke sekeliling ruangan untuk memastikan Mi Na tidak berbohong.
Mi Na mendesah pelan. “aku tidak berbohong.” Tukasnya, bisa menebak apa yang ada di pikiran Luis. “ikut aku. Di sini terlalu banyak saksi mata.”
Luis kembali mengangkat sebelah alis, tatapannya penuh heran. Dia hanya mengangkat bahu dan berkata, “terserah kau saja.”
Luis berjalan mengikuti Mi Na yang menuntunnya keluar butik. Hujan rintik-rintik membasahi jalan raya yang dilalui mobil-mobil mewah. Jarang sekali kendaraan bermotor terlihat di sekitar wilayah Myong Dong yang satu ini.
“Kau ingat? Waktu itu di Kyung Hee.” Ujar Mi Na setelah beberapa saat keduanya membisu. “aku tahu kau tertarik dengan gadis itu.”
Luis tersenyum tipis sambil menatap ke arah jalan raya. “sepertinya kau sudah menyatakan itu berulang kali. Bukankah begitu, Mi Na?”
“apa kau benar-benar tertarik dengannya?” Tanya Mi Na mengabaikan perkataan Luis. “dia jelas bukan tipe gadis seperti biasanya. Bukan seperti gadis yang kau sering rayu dan temui di lingkunganmu. Park Hwa Young, gadis yang… berbeda.”
Kini Luis tertawa rendah, namun Ia terdengar terluka dan jelas itu dibuat-buat. “jadi sekarang kau ingin mengatakan bahwa aku punya selera yang rendah?” balasnya. “aku kira kau membenci putri dari Julia Scarlett itu.”
“jadi kau tertarik dengannya hanya karena dia adalah putri dari artis Inggris terkenal itu?” Tanya Mi Na lagi. “untuk apa? Bukankah cukup untuk menjadi produser paling diminati di Korea?”
Luis mengangkat bahu. “entahlah. Mungkin kau benar, itu adalah salah satu alasannya. Tapi ada sesuatu yang lebih kuat dari pada itu. Sesuatu yang mampu meyakinkanku bahwa dia adalah gadis yang begitu menawan dan diminati.
Mi Na tertawa lebar dan dengan nada setengah percaya, dia berkata “mendengar kata-kata tulus seperti itu keluar dari mulutmu benar-benar sebuah lelucon.”
“Adrian Harrison.” Kata Luis mengabaikan anggapan Mi Na. Kini Mi Na menatapnya dengan tatapan terkejut.
“apa maksudmu?”
“tidak bisakah kau lihat itu semua? Caranya menatap Fiona Park. Caranya berbicara dan memperhatikan setiap gerak gerik gadis itu.”
Mi Na masih terdiam dan sedikit terkejut dengan kemampuan Luis yang bisa menebak perasaan seseorang hanya dari gerak geriknya. Padahal Mi Na sendiri tahu, walaupun Adrian dan Luis saling mengenal, tetapi mereka jarang bertemu langsung di lokasi. Dan dari cara Luis mendeskripsikan gerak-gerik Adrian, terdengar seperti mereka sudah bersahabat sejak lama.
“dan aku rasa bukan hanya Adrian yang mempunyai selera tinggi.” Lanjut Luis. “aku juga tahu gadis mana yang benar-benar menarik. Kau tahu?”
“Jadi kau benar-benar tulus, dengan Park Hwa Young?” Tanya Mi Na kembali.
“kenapa harus Park Hwa Young? Bukankah lebih bagus Fiona Park?” ujarnya tak acuh. “ya, aku menyukai gadis itu. Sangat. Terobsesi. Dan dia juga sasaran Adrian. It’s a tight competition, huh?”
Mi Na tidak merespon untuk beberapa saat, dia memalingkan pandangan ke jalan raya dengan perasaan dongkol. Kenapa, gadis pendiam, pemalu dan penyendiri seperti Fiona bisa menarik begitu banyak hati laki-laki? Ditambah lagi, Fiona juga adalah saingannya untuk mendapatkan Adrian. Ingin sekali Mi Na menjawab Luis, ‘Surely, it is a very tight competition.’
Tetapi Mi Na menahan niatnya itu. Ia justru berkata. “kalau begitu tujuan kita sama.”
Kini Luis yang tertawa lebar. “jangan bilang kalau kau tertarik dengan Adrian Harrison?”
Mi Na menatapnya dengan kedua mata disipitkan. “sayangnya bahasaku tidak semurah bahasamu. Aku bukan tertarik dengannya. Aku memuja dan sangat, sangat menyukainya.
“Oh, wanita yang sangat berani. Sayang sekali Adrian pria yang sulit.” Balas Luis.
“kau tahu dari mana?”
“televisi, surat kabar, majalah.”
Mi Na menatap Luis dan mendesis kesal. “itu hanya gosip. Berita murahan.”
“kalau aku bertanya padamu. Mi Na, bukankah Adrian pria yang sulit ditaklukkan?” tanya Luis penuh percaya diri. Melihat Mi Na yang tidak menjawab pertanyaannya dan masih memperlihatkan tatapan kesal itu, Luis tahu kalau dirinya benar. Ia lalu tersenyum dengan penuh kemenangan.
“jadi kita berdiri di sini karena kita menginginkan hal yang sama?”
Mi Na mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Kini senyumnya melebar dan dia menatap Luis. “bukankah hidup akan jauh lebih menyenangkan, jika kita bisa memiliki orang yang kita sukai?”
 “Itu memang tujuan hidupku.” Ujar Luis.





Esok hari adalah hari Natal. Dan besok, Fiona harus memenuhi janjinya untuk menjadi model lukisan Lee Jae Woo. Gadis itu mendesah pasrah. Sekali ini saja, Fiona. Hanya sekali ini saja kau membantunya. Gumamnya dalam hati. Fiona tidak ingin menyesali keputusannya untuk membantu Jae Woo, kalau sampai Ia menyesalinya, mungkin semuanya akan bertambah buruk. Jadi lakukan saja dan selesaikan. Setelah itu, Ia berharap Jae Woo tidak memperlihatkan wajahnya lagi di depannya.
Sejak tiga hari yang lalu laki-laki itu sama sekali tidak menghubunginya. Mau itu untuk menjadi guru bahasa Koreanya, koki pribadinya, ataupun desainer pribadinya. Sama sekali tak ada kabar dari Adrian. Laki-laki itu juga tidak berkunjung ke butik. Atau menghampiri kampus Kyung Hee dengan alasan tidak jelas seperti biasanya. Walaupun Fiona berusaha untuk menahan, tapi Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau Ia merindukan suara Adrian. Fiona tiba-tiba teringat akan kata-kata terakhir Adrian di telepon, tapi aku akan tetap menunggu.”
Fiona mendesah sekali lagi. Apapun itu alasannya Adrian tidak ada kabar akhir-akhir ini sama sekali bukan urusannya, bukan? Fiona menggeleng tegas, dan beranjak dari kursinya menuju dapur.
“bukankah menurutmu rumah kita begitu kosong?” terdengar suara Min Rae dari ruang tengah. “kita sama sekali belum membeli perlengkapan Natal.”
“Mmm, aku sibuk akhir-akhir ini.” Sahut Fiona. Ia membuat dua cangkir teh hijau dengan dua balok gula dicelupkan di setiap cangkir.
“Hwa Young-ssi. Kau tidak lihat semua lampu bergemelapan di luar sana setiap malam?”
“ya, aku sudah lihat.” Fiona lalu menghampiri Min Rae yang berbaring di sofa sambil membalik-balikkan halaman majalah dengan asal. “ini tehmu.”
“terima kasih.” Ujar Min Rae. “bukumu. Sudah selesai?”
Fiona yang tadinya menunduk menatap uap dari cangkir tehnya kini mendongak menatap Min Rae. Temannya balas menatap dengan penuh arti, menunggu jawaban dari Fiona. “akhir-akhir ini aku belum mendapat inspirasi baru.”
“bukankah tadi kau bilang kau sibuk?”
“memang.” Balas Fiona. Ia terdiam sejenak, bertanya-tanya pada dirinya sendiri, sebenarnya Ia sibuk apa? Apakah tadi Ia hanya asal bicara? Bukan. Sebenarnya bukan tangannya yang sibuk menulis atau mengetik. Otaknya yang sibuk berpikir. Berpikir tentang hal yang baginya seharusnya tidak dipikirkan. Berpikir tentang hal sepele yang hanya menghabiskan waktunya. “sibuk berpikir…untuk mencari inspirasi. Tapi tidak berhasil.”
“oh.” Tanggap Min Rae, sama sekali tidak merasa curiga. “sebenarnya buku yang kau tulis tentang apa sih?”
“bukankah sudah kubilang, belum saatnya untuk memberitahu.”
“kenapa harus dirahasiakan?”
“karya yang hebat memang harus menjadi kejutan.” Balas Fiona sambil tersenyum.
Min Rae mengangguk pelan dan tersenyum pula, “oh, ya! Aku hampir lupa.” Ujar Min Rae sebelum Ia meneguk teh hijaunya. “kemarin karena kau tidak ada di kampus, ada dua wartawan dari Inggris yang mencarimu.”
Wartawan? Dari Inggris? Kedua mata Fiona sedikit melebar, Ia mulai was-was. Apa jangan-jangan dirinya…
“mereka ingin mewawancaraimu soal karya tulismu yang dipublikasikan di majalah sastra, juga soal beasiswa di Oxford.” Jelas Min Rae. “ditambah lagi sedikit tentang biografimu.”
“Biografiku?”
Min Rae mengangguk pelan. “aku tahu, Hwa Young.” Ucap temannya pelan. “beritahu mereka seperlunya saja.”
Fiona mengangguk dan tersenyum tipis. “ya, seperlunya saja.”
“hah, kenapa mereka tidak mewawancaraiku juga ya? Padahal aku juga menerima beasiswa. Menyebalkan.”
Fiona hanya menatap temannya itu sambil tersenyum lebar. Min Rae melempar majalahnya ke meja dan gadis itu melompat dari sofanya. “jadi tunggu apa lagi? Ayo kita pergi.”
Fiona mengangkat sebelah alis heran. “ke mana?”
Min Rae mengulurkan tangannya dan menunjuk keluar jendela. “ke mana saja, yang menjual banyak hiasan Natal.”
 



“Terakhir kali aku melihatmu, kau juga berbaring seperti itu.” Ujar Mike Wylson sedikit mengejutkan Adrian yang sedang berbaring terbalik dan membenamkan kepalanya di bantal. “dan sudah ketiga kalinya aku melihatmu seperti itu.”
Adrian masih tidak menjawab. Ia masih bertahan dengan posisi semulanya. “sejak dua hari yang lalu.” Ujar Mike lagi.
“tidak usah kau ingatkan.” Balas Adrian yang sudah berbalik menatap langit-langit kamar.
“kau terlihat seperti orang yang sudah bosan hidup.” Ucap Mike sambil menatap Adrian heran dan menggeleng pelan. “apa yang terjadi denganmu?”
“entahlah.” Ujar Adrian sambil memejamkan mata. Kini Ia berbalik ke arah kanan dengan tangan kanan melentang dan tangan kiri menopang pipinya. Ia menatap buku kecil berwarna cokelat tua buatannya itu di atas meja kecil di samping tempat tidur. “sudah lama aku belum makan kimchi.
“kau ingin aku memesankan beberapa untukmu?” tawar Mike.
“tidak usah.”
“kalau begitu…” ucapan Mike terhenti sejenak. Kini Mike menatap Adrian dengan mata sipit dan senyum menggoda. “kau bosan hidup karena Fiona Park?”
“apa?” Adrian menatap manajernya itu dengan mata melebar kaget. Tidak mungkin dirinya semudah itu bisa ditebak. “apa katamu?”
“kau belum bertemu dengannya belakangan ini, bukan?” tanya Mike penuh percaya diri. “aku ini sudah menjadi manajermu selama lima tahun. Tidak susah lagi menebak isi pikiranmu.”
“lalu kenapa kau masih ada di sini?” kata Adrian. “keluar. Aku tidak suka diganggu di saat seperti ini.”
“wah, kau memang selalu pandai bersikap kasar dalam suasana hati seperti itu.” Balas Mike, sama sekali sudah terbiasa dengan sikap artisnya itu. Adrian tiba-tiba bangun dari tempat tidurnya dengan cepat dan meraih jaket di sofa.
“mau ke mana?” tanya Mike yang masih menyandarkan bahu di ambang pintu. Adrian mengambil kunci mobilnya di meja kerjanya yang masih tertutupi kertas-kertas dengan penuh coretan lirik lagu.
“cari udara segar. Kalau ada yang ingin menemuiku, bilang aku sibuk. Tidak bisa diganggu.” Kata Adrian sambil berjalan keluar pintu kamar melewati Mike.
Mike yang menatap Adrian sudah berjalan jauh meninggalkan kamarnya lalu berteriak, “hey, ingat kau punya jadwal showcase malam Natal hari ini! Jangan kabur lama-lama!”


Sesampainya Adrian di dalam mobil, Ia lalu melirik ke arah gitar akustik berwarna putih di kursi belakang. Ke mana lagi Ia bisa pergi selain ke taman luas yang penuh dengan udara segar dan memainkan gitarnya? Tidak peduli siapapun yang mengerumuninya. Tapi pikirannya, otaknya, tenggelam sendiri dalam lagu yang dimainkannya. Seandainya dia bukan seorang artis. Seandainya dia hanya mahasiswa musik biasa yang masih menekuni jurusannya di universitas. Akan jauh lebih mudah untuk bermain musik dan bernyanyi di manapun. Tapi itu semua tidak penting. Yang penting adalah sekarang, Ia harus mencari cara untuk mengalihkan pikirannya dari gadis itu. Gadis bermata hijau yang sangat Ia rindukan. Dan entah kenapa, dirinya sama sekali belum menghubungi gadis itu. Dan sepertinya gadis itu sendiri juga tidak peduli.
Sudahlah Adrian. Kau tahu sendiri dia masih belum melupakan orang itu.
Ujar Adrian dalam hati. Lalu seulas senyuman pasrah kembali menghiasi wajahnya untuk kesekian kalinya. Adrian pun memutar kunci mobilnya dan membiarkan mobil itu membawa dirinya ke manapun itu.



Hanya dengan keluar rumah saja, Fiona dan Min Rae sudah bisa melihat beberapa toko kecil di pinggir jalan yang menjual hiasan gemerlap untuk Natal. Melihat kota Seoul penuh dengan warna di hari sebelum Natal merupakan hari favorit Fiona. Ternyata melihat itu semua cukup untuk membuat otak Fiona sedikit lebih ringan. Ia bisa menghirup udara segar kota Seoul di pagi hari. Melihat anak-anak kecil yang tertawa dan tersenyum lebar dengan orang tuanya sambil memakai topi natal dan menggenggam kantung merah dan hijau besar yang menampung beberapa hadiah dan permen. Menyaksikan itu semua membuat Fiona tersenyum lebar. Seandainya sekarang ayah dan ibunya bisa bersama dia…
“Hwa Young-ssi, ayo kita ke sana!” kata Min Rae sambil menarik tangan Fiona. Walaupun Min Rae sudah menarik tangan Fiona, tapi sepertinya gadis itu terlalu bersemangat sehingga Ia berlari-lari masuk ke dalam toko kecil yang penuh dihiasi dengan lampu warna-warni dan mistletoe, juga boneka-boneka Sinterklas dan hadiah-hadiah kecil dengan warna pelangi diletakkan di sisi jendela toko.
Fiona tersenyum memperhatikan temannya itu. Saat Ia bermaksud untuk menyusul Min Rae, tiba-tiba suara gitar yang lembut terdengar dari kejauhan. Mendengar alunan gitar itu mengingatkan Fiona akan suara yang pernah Ia dengar sebelumnya. Kedua matanya kemudian melebar kaget dan tanpa berpikir panjang, Fiona berlari kecil mencari sumber suara gitar itu. Tak lama kemudian, Ia bisa melihat kerumunan kecil di sisi lapangan luas dari kejauhan. Siapa, yang sedang dikerumuni orang-orang itu?
Sekarang Fiona berjalan lebih pelan, mendekati kerumunan itu. Ia kemudian bisa mendengar suara merdu yang sudah tidak asing lagi baginya. Suara yang Ia rindukan. Hanya empat hari tidak mendengar kabar darinya, Fiona baru sadar betapa dirinya merindukan laki-laki itu hingga matanya terasa panas hanya dengan mendengar suaranya. Namun Fiona tidak bisa mendengar dengan jelas lagu apa yang sedang dinyanyikannya. Yang hanya bisa Ia lihat dengan jelas hanyalah kerumunan orang-orang. Dan kali ini bukan hanya para gadis muda yang menutup mulut mereka untuk menahan teriak atau mengeluarkan kamera dan ponsel untuk mengambil gambar laki-laki itu. Tapi anak-anak kecil yang terlihat berumur sekitar lima tahunpun juga menyaksikkan pertunjukkan kecil itu.
Beberapa orang berjalan ke samping dan secara tidak langsung memberikan ruang untuk Fiona melihat orang yang sudah dicari-carinya. Dengan tidak sadar, bibir Fiona membentuk namanya, “Adrian.”
Kini mata Fiona tidak bisa berpaling dari Adrian. Seperti saat itu Adrian bermain gitar di depan stasiun kereta. Seperti itulah kini perasaannya. Hanya saja perasaannya saat ini lebih dari itu. Perasaannya campur aduk. Rindu. Kagum. Cemas. Dan… bersalah. Kenapa yang terakhir itu bisa muncul? Entahlah. Hanya saja Fiona yakin Ia juga merasa bersalah.
Ingin sekali Fiona berlari ke arah sana, menatap Adrian lebih dekat, memanggil namanya agar dia tahu kalau Fiona ada di sana. Ingin sekali… ingin sekali Fiona memeluk Adrian. Menangis dan mengomelinya. Menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan laki-laki itu. Apa dia marah? Apa dia tidak membutuhkan Fiona lagi? Apa dia tidak merindukan Fiona sama sekali?
Saat itu juga gadis itu mengerjapkan mata dan kedua matanya melebar. Ia lalu menoleh ke arah orang-orang yang menonton Adrian, dari anak kecil sampai orang tua. Lalu Ia kembali menatap Adrian yang masih memainkan gitarnya dan tenggelam dalam lagunya sendiri.
Inspirasi. Akhirnya inspirasi untuk menulis sesuatu muncul. Bukan, bukan untuk melanjutkan bukunya. Tetapi menulis sesuatu yang baru.


 


0 Comments:

Posting Komentar

2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.

© Sunny In Winter, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena