“Jangan bilang kalau kau belum menyiapkan gaun sama
sekali.” Terdengar omelan Min Rae di ujung sana. Fiona masih terduduk di atas
tempat tidurnya, dengan laptop menyala di depan dan mengetuk-ngetuk ujung
pulpen di atas sisi laptop.
“aku masih sibuk.” Sahut Fiona sambil memegang ponsel dengan sebelah
tangan. Fiona mendengar nada suara Min Rae yang berubah kesal. “apa kau serius?
Park Hwa Young, kau benar-benar tidak akan datang malam ini?”
“bukannya begitu.” Jawab Fiona cepat. “aku sudah menyiapkan semuanya dari
kemarin. Masalahnya, kau sudah menanyakan hal yang sama lebih dari tiga kali.”
“ahh, benar juga. Aku hanya ingin memastikan jika kau tidak
berbohong.”
Fiona memutar bola matanya. Walaupun temannya itu tidak bisa melihat
ekspresinya saat ini, Fiona masih ingin Min Rae tahu kalau sikapnya itu agak
berlebihan. “tidak usah khawatir tentang aku. Lebih baik kau berkonsentrasi
dengan pedicure dan medicuremu saat ini.”
“bagaimana kau bisa tahu?” ujar Min Rae kini dengan suara yang
terdengar riang.
“aku bisa mendengar suara pengering rambut dari ujung sini. Kau ada di
salon, bukan?” kata Fiona dengan nada penuh yakin. “sudah berapa lama kau di
salon?”
“tiga jam.” jawab Min Rae masih dengan nada riang, tanpa sama sekali
terbesit rasa malu. “setelah ini aku akan langsung pergi ke pesta kesenian.
Sampai ketemu nanti malam, Hwa Young-ssi!”
“enjoy your day, lassie.” Balas Fiona, setelah itu Ia menutup teleponnya.
Gadis itu lalu beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menghampiri gaun
malam biru yang tergantung di pintu kamar. Ia mendesah. Entah apa yang membuatnya
merasa terganggu, Ia sama sekali tidak meyukai perasaan itu. Beberapa detik
kemudian, ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur berdenting. Satu pesan
masuk.
“jam tujuh malam di depan pintu
apartemenmu. Sampai ketemu nanti, cherry
blossom.”
Fiona mengangkat sebelah alis. Cherry blossom? Apa Adrian salah kirim?
Fiona lalu segera menggerakkan jarinya, membalas pesan dari Adrian.
“cherry blossom? Gadis mana yang
kau maksud?”
setelah beberapa detik pesannya terkirim, balasan dari Adrianpun tiba.
“gadis itu kau. Menurutmu siapa lagi
yang akan kujemput nanti malam, Miss Fiona Scarlett?”
untuk beberapa saat Fiona hanya menatap pesan dari Adrian itu. Ini
pertama kalinya Adrian menyebut nama Inggris Fiona. Walaupun memang secara
tidak langsung, namun senyuman sudah mengembang di wajah Fiona saat membayangkan Adrian menyebut
namanya itu. Fiona Scarlett. Ia lalu kembali membalas pesan Adrian.
“aku rasa otakku kali ini tidak
berfungsi seperti biasanya.” Ungkapnya.
Sebenarnya Fiona sudah bisa menebak apa yang dimaksud oleh Adrian, namun gadis
itu lebih memilih berpura-pura untuk tidak mengerti. Tidak lama kemudian, satu
pesan lain masuk.
“jika kau memang cerdas, kau akan paham
maksudku. Sayang sekali.”
Sama sekali bukan balasan yang diharapkan Fiona. Gadis itu hanya
mendengus pelan, namun Ia akhirnya tersenyum tipis, dan membalas untuk terakhir
kalinya.
“sampai ketemu nanti malam, Harrison.”
Sekali lagi Fiona menatap bayangannya di cermin, sudah cukup. Fiona
tidak ingin terlalu memolesi wajahnya. Baginya, riasan wajah yang tipis dan
natural sudah cukup sempurna. Lagipula, setiap kali Fiona menghadiri acara
resmi, Ia tidak pernah berniat untuk menarik perhatian siapapun.
Fiona lalu mengambil dompet berwarna perak di atas mejanya dan
bergegas keluar kamar. Baru saat Fiona menutup pintu kamar, dentingan bel
apartemennya berbunyi. Sudah datang. Ternyata Adrian sangat tepat waktu. Gadis
itu lalu berjalan lebih cepat menuju pintu apartemennya dan dengan senyuman
tercerahnya, Fiona menyambut Adrian yang berdiri dalam balutan tuksedo putih
dengan dasi hitam disekitar lehernya.
Masih menunjukkan senyumannya yang begitu cerah, laki-laki di depannya
terlihat terpaku. Adrian tidak mengedipkan mata untuk beberapa detik, Ia hanya
menatap wajah Fiona—juga dari atas lalu ke bawah—memperhatikan penampilan gadis
itu yang benar-benar berbeda dari biasanya. Ia tahu kalau jantungnya sering berdetak
lebih cepat setiap kali Fiona tersenyum padanya, tapi kali ini sepertinya
keadaannya jauh lebih memprihatikan. Adrian bahkan merasa sulit untuk menyusun
kata-kata.
“kau…” ujarnya dengan kikuk. “cantik.”
Adrian lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat. “tidak. maksudku,
sangat cantik.”
Fiona hanya tertawa rendah melihat reaksi Adrian. Ia tidak yakin, tapi
sepertinya laki-laki di depannya itu terlihat grogi. Namun semua itu sama
sekali tidak ada bandingannya dengan penampilan Adrian malam ini. Kenapa
laki-laki ini selalu terlihat tampan disetiap waktu? Di manapun dan kapanpun
Fiona bertemu dengannya, Adrian selalu muncul dengan kehadiran yang menenangkan
dan senyumnya yang menghangatkan. Entah apa yang membuat senyumnya sehangat
sinar mentari di musim semi, tapi semua itu mampu membuat Fiona luluh dan
mendesah lega. Kharisma yang Adrian pancarkan selalu berhasil menunjukkan
betapa menariknya laki-laki itu. Apakah itu hanya karena lesung pipit di kedua
sisi wajahnya? Entahlah.
Fiona lalu tersenyum membalas Adrian. “kau juga. Selalu terlihat baik
seperti biasa.”
Adrian kembali menyunggingkan seulas senyum, kini lebih lebar dan
percaya diri. “kau ingin tahu sesuatu?”
“apa?”
Adrian tidak menjawab sesaat. Ia lalu berkata, “tidak apa-apa. Nanti
saja.”
Fiona menyipitkan kedua matanya, menunjukkan ekspresi kesal dan tidak
puas. Kenapa laki-laki ini masih saja selalu membuatnya penasaran?
“kau tahu jelas kalau aku sangat tidak menyukai itu.”
“tidak menyukai apa?”
Fiona mendengus. Ia yakin Adrian hanya berpura-pura tidak tahu.
“sikapmu yang selalu membuat orang mati penasaran.”
“bukankah ini menyenangkan?” balasnya dengan nada bergurau. “aku
semakin ingin sering melakukan ini padamu. Apalagi melihat ekspresimu itu.”
Fiona lalu dengan cepat menggerakkan tangannya dan mencubit lengan
Adrian. “tidak lucu. Cepat katakan atau…”
“aku akan bernyanyi.” Sela Adrian.
Fiona mengangkat sebelah alis, lalu kedua mata hijaunya mulai
berkilat-kilat. “kau akan bernyanyi?”
Adrian mengangguk. “sepertinya direktur utama universitas Kyung Hee
sangat merasa terhormat akan kedatanganku malam ini. Ia mengirimkan undangan
spesial sekali lagi hanya untuk memintaku bernyanyi di pesta nanti.”
“lagu apa?” Tanya Fiona dengan antusias.
“apa yang kau harapkan?”
“mmm… lagu korea?” ujar Fiona dengan penuh harap.
Adrian tersenyum tipis. Ia dengan tiba-tiba meraih tangan kanan Fiona,
lalu meletakkan tangan gadis itu di atas lengannya. Fiona hanya membiarkan
tangan Adrian memimpin tangannya, membiarkan semua itu terjadi. Kini sebelah tangannya
melingkari lengan Adrian dan entah kenapa, Ia merasa tangannya memang pantas
disitu. Posisi yang tepat dan sempurna untuk digenggam, lengan yang membuat
Fiona ingin bersandar saat itu juga jika Ia membiarkan perasaannya menguasai
dirinya.
“sayang sekali, permohonanmu belum bisa dikabulkan Fiona-ssi.” Ujar Adrian begitu tangan Fiona
sudah melingkari lengannya. “kita berangkat sekarang.”
“Kau siap?” Tanya Adrian sekali lagi. Setelah membukakan pintu mobil
untuk Fiona tadi, Ia juga menanyakan hal yang sama.
Fiona menoleh ke arah Adrian, Ia lalu tersenyum dan mengangguk pelan.
“sepertinya kau sangat khawatir. Bukankah sudah kubilang iya tadi?”
“aku hanya tidak ingin kau tiba-tiba tersentak melihat keramaian di
dalam sana lalu kabur. Aku datang ke sini hanya karenamu.”
Fiona tersentak. Bukan karena keramaian yang akan Ia lihat di dalam
sana tapi karena ucapan Adrian barusan. Adrian lalu menatap mata Fiona dan
tersenyum. “tentu saja karena aku juga diundang dan aku harus menemanimu yang
anti-sosial.”
Oh, jadi bukan itu maksudnya. Fiona lalu menghela napas, dan
melemparkan tatapan kesal pada Adrian. “aku bukan anti-sosial.” Ujar Fiona.
“aku hanya benci… tidak suka orang memperhatikanku.”
“aku akan terus berada di sampingmu.” Balas Adrian, lalu memperbaiki
posisi tangan Fiona yang menggandeng lengannya. Fiona tidak membalas tatapan
Adrian. Ia baru sadar kalau semua yang dilakukannya saat ini sama sekali bukan
berarti apa-apa. Hubungannya dengan Adrian Harrison hanya sekadar berteman.
“pegang lenganku dengan benar.” Ujar Adrian. Ia terdiam sesaat,
menunggu Fiona untuk membalas tatapannya. Tapi gadis itu hanya diam dan menatap
lurus ke depan. Adrian hanya tersenyum kecil, lalu berkata, “kita masuk
sekarang.”
Saat pintu besar ruang utama terbuka, semua tamu yang sudah mulai
menikmati acara awal memusatkan mata kepada sepasang tamu muda yang baru tiba
itu.
Adrian merasa tangan Fiona mulai menegang, sebelah tangan Adrian yang
bebas lalu menyentuh tangan Fiona yang melingkari lengannya, “senyum.” Bisik
Adrian.
Fiona menarik napas panjang dan berusaha menarik sisi-sisi bibirnya
untuk tersenyum. Fiona merasa Ia tidak akan sanggup berjalan jika bukan Adrian
yang menuntunnya ke sisi ruangan pesta. Ia membiarkan Adrian menariknya dengan
pelan, ke mana saja, asalkan semua mata itu tidak memperhatikannya lagi.
“selamat datang, Mr. Harrison.” Sapa seorang laki-laki tua. Fiona
menoleh, Ia baru sadar bahwa orang yang barusan menyapa Adrian adalah rektor
universitas Kyung Hee, Lee Min Ha.
“kami sangat senang anda menerima undangan kami.” Tambahnya.
“ini adalah acara resmi pertama yang saya kunjungi di Korea. Terima
kasih atas undangannya.” Mr. Lee lalu melihat ke arah Fiona yang berdiri di
samping Adrian. “Park Hwa Young?”
Fiona membungkukkan badan. Ia lalu tersenyum lebar, “selamat malam,
pak. Acara malam kesenian Kyung Hee memang selalu hebat.” Puji Fiona.
“you’re looking beautiful, Hwa
Young-ssi. Selamat atas beasiswamu di
Oxford.”
“terima kasih.” Balas Fiona.
“Mr. Harrison, kami harap anda bisa menyumbangkan suara anda di acara
ini, itu akan sangat mengesankan.” Ujar Mr. Lee.
Adrian tersenyum ramah, Ia lalu menatap Fiona. “Saya memang sudah
merencanakan itu.” Ujarnya.
“kau berbicara padaku?” Tanya Fiona sambil berbisik.
“kau bisa menunggu di sini sebentar?”
“mau ke mana?”
“ke pangggung.” Balas Adrian. “kau tidak akan pingsan kalau tidak
menggenggam tanganku, bukan?”
Fiona lalu memukul bahu Adrian pelan. “pergi saja selama yang kau
mau.”
Senyum Adrian melebar begitu melihat bibir Fiona yang mengerucut. Ia
lalu mengalihkan pandangan kepada Mr. Lee. “mungkin acaranya bisa dimulai
sekarang?”
“tentu saja.” Balas Mr. Lee dengan senyum puas.
Sebelum Adrian beranjak meninggalkan Fiona, Ia menepuk pelan bahu
gadis itu, dan sekali lagi berbisik ke telinganya, “tatap aku dan dengarkan.”
Fiona hanya mendesah pelan. Sekarang di sini Ia berdiri di tengah
ruangan yang besar, dipenuhi banyak orang yang tidak semuanya Ia kenali. Detak
jantungnya kini tidak karuan.
Apakah aku harus selalu was-was seperti
ini setiap kali di tengah pesta? Gumam Fiona
dalam hati. Ia sangat berharap Min Rae datang saat itu juga, menghampirinya,
dan menggenggam tangannya agar Ia merasa aman dan tak terjatuh.
Selama Fiona sibuk mengendalikan getaran ditangannya, Adrian sudah
tiba di atas panggung dengan gitar akustik. Sinar lampu di ruangan utama yang
tadinya terlihat terang benderang kini tiba-tiba meredup, memusatkan fokus
kepada orang yang sedang berdiri di panggung.
Begitu fokus cahaya di panggung sudah terlihat jelas, suara pekikan
kecil mulai terdengar dari sisi panggung, seolah-olah mereka baru saja menyadari
keberadaan pria Inggris yang sedang terduduk di atas sana. Adrian tidak
memperdulikan semua kehebohan itu, matanya masih terpusat di gitar akustiknya—semua
gerakan itu seakan-akan membuat Fiona terpana. Cara Adrian duduk di atas
kursinya, caranya memegang gitar, dan caranya memandang ke bawah ke gitarnya.
Sorot cahaya yang terpusat kepada Adrian seolah-olah membuatnya satu-satunya
orang yang ada di dalam ruangan. Satu-satunya yang Fiona bisa lihat.
Adrian lalu mengangkat kepala dan melempar pandangannya ke seluruh
ruangan. Walaupun ruangan itu terlihat agak gelap, Ia masih bisa melihat
beberapa orang yang memperhatikannya di panggung. Adrian berusaha mencari
Fiona, berusaha meyakinkan dirinya agar gadis itu baik-baik saja. Saat matanya
beralih ke tengah ruangan, Adrian bisa melihat wajah gadis itu di dalam
kegelapan. Mata hijaunya memperhatikan Adrian. Laki-laki itu lalu bisa merasa
sedikit lebih lega.
“Malam ini pastinya adalah malam yang spesial bagi kalian semua.” Ujar
Adrian. “malam ini juga begitu spesial bagiku. Karena malam ini akan menjadi
yang pertama kalinya bagiku untuk menyanyikan lagu untuk seseorang.”
Semua kerumunan mulai berkata ‘wah’ dan terlihat sedikit lebih ribut
dari sebelumnya. Sudah pasti mereka sangat penasaran dengan siapa yang Adrian
maksud.
“di manapun dia berada, aku hanya berharap dia tahu kalau aku
menyanyikan lagu ini untuknya.” Tambah Adrian. Saat itu juga, Ia mulai
menjentikkan jemarinya di senar gitar.
She's like
cold coffee in the morning
I'm drunk
off last night's whiskey and coke
She'll make
me shiver without warning
And make me
laugh as if I'm in on the joke
And
you can stay with me forever
Or you could
stay with me for now
Tell
me if I'm wrong, tell me if I'm right
Tell me if
you need a loving hand, to help you fall asleep tonight
Tell me if I
know, tell me if I do
Tell me how
to fall in love the way you want me to
I'll
wake with coffee in the morning
But she
prefers two lumps of sugar and tea
Outside the
day is up and calling
But I don't
have to be so, please go back to sleep
Stay
with me forever
Or you could
stay with me for now
'Cause I
love the way you wake me up
For goodness
sake will my love not be enough?
(cold coffee- Ed Sheeran)
Saat itu tak
ada yang bisa Fiona lihat tapi Adrian. Ini pertama kalinya gadis itu melihatnya
bernyanyi secara langsung. Dan saat itu juga, Fiona mulai menyadari satu hal
yang lain. Suara Adrian yang menghanyutkan. Ia yakin kalau matanya tidak salah
lihat, Adrian terus menatap ke arahnya saat Ia bernyanyi. Apakah ini hanya
dirinya atau Adrian memang menyanyikan lagu itu untuknya?
Fiona, itu tidak mungkin. Desakan dalam hati Fiona seolah-olah berusaha
meyakinkannya kalau Adrian memang sama sekali tidak mempunyai perasaan apapun
dengannya.
Laki-laki
itu terus memandanginya dari kejauhan. Beberapa kali Ia berhenti dan berjalan
mengelilingi ruangan pesta hanya untuk berusaha meyakinkan diri bahwa mata
kelabunya tidak salah lihat. Benar, gadis itu adalah gadis yang sama yang Ia
lihat sebelumnya di ekshibisi. Fiona… siapa? Fiona Park?
Ya, tidak
salah lagi. Seulas senyuman lalu tersungging di bibirnya, ternyata gadis yang
bernama Fiona itu sama sekali tidak buruk. Sangat cantik, bahkan Ia terlihat
lebih menawan dibandingkan Katherine. Semua orang di ruangan memusatkan
perhatian pada Adrian yang ada di atas panggung, namun hanya Luis Murray yang
memperhatikan Fiona dengan tatapan tajam itu.
wah pengen baca kelanjutannya nie :).
BalasHapusSimak Tantangan Kreatif Blogger Berhadiah Mingguan & Grandprize Android